Peralihan Tanah

- Penulis

Minggu, 19 Oktober 2025 - 17:49

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Di tengah kompleksitas persoalan hukum agraria di Indonesia, masih banyak terjadi kesalahpahaman di masyarakat terkait status hukum surat pengakuan utang sebagai dasar peralihan hak atas tanah. Padahal, menurut kajian hukum dan pandangan praktisi dari Gerai Hukum Art & Rekan, surat pengakuan utang tidak serta-merta menimbulkan akibat hukum berupa beralihnya hak kepemilikan tanah kepada pihak lain.

Secara yuridis, peralihan hak atas tanah merupakan tindakan hukum publik yang hanya sah apabila dilakukan melalui Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan kemudian didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Prosedur ini merupakan bentuk manifestasi asas publisitas dalam hukum agraria – agar setiap perubahan hak atas tanah diketahui dan diakui oleh negara.

Namun, dalam praktiknya, tak sedikit masyarakat – bahkan pelaku usaha – yang keliru menganggap surat pengakuan utang sebagai alat bukti kepemilikan atau dasar pengalihan hak. Padahal, secara hukum, dokumen tersebut hanya memiliki fungsi perdata, bukan publik. Surat itu baru memiliki kekuatan eksekutorial jika dituangkan dalam bentuk grosse akta notariil, bukan sekadar pernyataan di atas materai biasa.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kekeliruan semacam ini berpotensi menimbulkan sengketa pertanahan, sebab pihak penerima pengakuan utang sering kali merasa telah memiliki tanah yang dijadikan jaminan, sementara secara hukum, hak kepemilikan masih melekat pada pemegang sertifikat yang terdaftar di BPN. Di sinilah pentingnya literasi hukum publik – agar masyarakat tidak terjebak pada logika “utang berubah jadi kepemilikan” yang jelas bertentangan dengan sistem hukum agraria nasional.

Lebih jauh, fenomena ini juga menyingkap kelemahan tata kelola hukum pertanahan di tingkat akar rumput. Masih banyak transaksi yang dilakukan secara informal tanpa pendampingan hukum yang memadai. Negara perlu memperkuat mekanisme edukasi hukum dan pengawasan PPAT, agar publik memahami batas antara transaksi perdata dan administrasi pertanahan yang bersifat publik.

Menertibkan Mekanisme Peralihan Hak Atas Tanah: Dari Akta Otentik hingga Kepastian Hukum Publik
Dalam sistem hukum agraria nasional, tanah bukan sekadar benda ekonomi, melainkan juga bagian dari kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya. Namun ironisnya, banyak masyarakat masih memandang proses peralihan hak atas tanah sebagai urusan administratif belaka-cukup bermodal surat pernyataan atau pengakuan utang. Padahal, dalam hukum publik, peralihan hak tanah adalah tindakan hukum yang harus melewati prosedur resmi dan sah secara negara.

Menurut ketentuan hukum pertanahan, proses peralihan hak yang sah harus dibuktikan melalui akta otentik, seperti Akta Jual Beli (AJB), akta hibah, atau akta peralihan lainnya yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. Di sinilah letak pembeda mendasar antara hukum formal dan praktik sosial: kepemilikan atas tanah tidak cukup dengan kesepakatan di atas kertas, melainkan harus diakui dan tercatat secara publik.

Tahapan Hukum yang Mengikat
Prosedur peralihan hak atas tanah sejatinya telah dirancang dengan cermat oleh negara. Dimulai dari verifikasi dan validasi data oleh petugas layanan pertanahan. Pemohon wajib menyerahkan berkas kepemilikan dan identitas yang akan diperiksa keabsahannya. Setelah itu dilakukan cek lokasi atau survei lapangan, guna memastikan kesesuaian fisik dan yuridis antara tanah dan dokumen yang diajukan.

Tahapan berikutnya adalah penandatanganan akta jual beli (AJB) di hadapan PPAT sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik. Proses ini bukan sekadar formalitas, tetapi juga bentuk perlindungan hukum preventif agar para pihak memahami hak dan kewajiban masing-masing sebelum transaksi disahkan.

Selanjutnya, pihak yang melakukan peralihan wajib melunasi kewajiban pajak. Bukti pembayaran pajak menjadi syarat substantif untuk melanjutkan proses ke tahap pengesahan. Setelah pajak dibayar, Camat sebagai pejabat berwenang menandatangani AJB, yang kemudian menjadi dasar sah bagi pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan (BPN). Dari sinilah sertifikat tanah diperbarui dan kepemilikan baru diakui secara hukum publik.

Antara Legalitas dan Realitas Sosial
Mengapa di lapangan masih banyak terjadi praktik jual beli tanah bawah tangan atau hanya berbekal surat pernyataan sederhana? Jawabannya terletak pada dua hal: minimnya literasi hukum publik dan ketimpangan akses terhadap layanan PPAT/BPN di daerah. Bagi sebagian masyarakat, birokrasi hukum tanah masih dianggap rumit, mahal, dan tidak ramah. Celah ini dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk “mempermudah” proses secara informal-yang pada akhirnya menjerumuskan masyarakat sendiri dalam ketidakpastian hukum.

Kelemahan tata kelola ini menandakan bahwa reformasi agraria bukan hanya soal redistribusi tanah, tetapi juga soal reformasi pengetahuan dan pelayanan hukum. Negara perlu memastikan bahwa sistem administrasi pertanahan tidak menjadi labirin yang menakutkan bagi rakyat, melainkan jembatan menuju keadilan dan kepastian hukum yang nyata.

Surat Pengakuan Utang: Antara Bukti Perdata dan Batas Hukum Publik atas Kepemilikan Tanah
Dalam praktik kehidupan hukum masyarakat Indonesia, surat pengakuan utang sering kali dipandang sebagai “alat ajaib” yang dapat mengubah hubungan utang-piutang menjadi kepemilikan atas aset, termasuk tanah. Namun secara yuridis, pandangan ini adalah kekeliruan serius. Surat pengakuan utang hanyalah dokumen perdata, bukan dokumen publik yang berfungsi sebagai dasar sah peralihan hak atas tanah.

Menurut para praktisi dan akademisi hukum pertanahan, seperti yang ditegaskan dalam berbagai yurisprudensi dan peraturan agraria, fungsi surat pengakuan utang terbatas pada pembuktian adanya hubungan hukum pinjam-meminjam uang antara kreditur dan debitur. Dokumen ini memang dapat dijadikan bukti di pengadilan jika terjadi wanprestasi, tetapi tidak memiliki kekuatan eksekutorial otomatis kecuali dituangkan dalam bentuk grosse akta notariil – akta otentik yang dibuat di hadapan notaris dan diberi kekuatan hukum untuk dieksekusi langsung tanpa gugatan baru.

Keterbatasan Surat Pengakuan Utang dalam Perspektif Hukum Publik
Masalah utama muncul ketika surat pengakuan utang digunakan seolah-olah sebagai dasar pemindahan hak atas tanah. Dalam hukum publik, peralihan hak atas tanah harus melalui proses formil dan administratif yang sah. Tidak ada satu pun aturan yang membenarkan bahwa pengakuan utang dapat menggantikan Akta Jual Beli (AJB) atau akta peralihan lainnya yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Dengan kata lain, surat pengakuan utang tidak dapat menggantikan akta otentik dalam sistem hukum agraria Indonesia. Tanah tetap sah dimiliki oleh pihak yang tercatat dalam sertifikat yang diterbitkan dan diakui oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), sampai dilakukan proses peralihan yang sah menurut undang-undang.

Dua Jalur Peralihan Hak atas Tanah: Beralih dan Dialihkan
Pertanyaan publik yang sering muncul kemudian adalah: “Bagaimana cara sah melakukan peralihan hak atas tanah?”
Jawabannya diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah diperbarui melalui PP Nomor 24 Tahun 1997. Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997, pemindahan hak atas tanah dapat terjadi melalui dua mekanisme hukum utama:
1. Beralih, yaitu berpindahnya hak atas tanah tanpa perbuatan hukum dari pemiliknya, misalnya karena pewarisan atau penggabungan hak karena hukum.
2. Dialihkan, yaitu berpindahnya hak atas tanah karena perbuatan hukum aktif dari pemiliknya, seperti jual beli, tukar menukar, hibah, atau pemasukan ke dalam perusahaan.

Khusus untuk kategori dialihkan, peraturan tersebut menegaskan bahwa setiap peralihan hak hanya dapat didaftarkan apabila dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Pengecualian hanya berlaku pada pemindahan hak melalui lelang, yang dibuktikan dengan akta risalah lelang resmi.

Antara Regulasi dan Kenyataan Sosial
Namun dalam realitas sosial, masih banyak masyarakat yang tidak memahami batas antara perjanjian perdata dan peralihan hak publik. Akibatnya, muncul berbagai sengketa tanah yang berpangkal dari surat pengakuan utang atau perjanjian bawah tangan. Fenomena ini menyingkap defisit literasi hukum pertanahan dan lemahnya fungsi edukasi negara terhadap rakyatnya.

Negara sejatinya tidak hanya berkewajiban menyediakan sistem hukum yang jelas, tetapi juga memastikan akses pengetahuan hukum yang merata. Karena hukum yang hanya dipahami oleh segelintir orang pada akhirnya menjadi instrumen dominasi, bukan keadilan.

Membedah Empat Jalur Legal Peralihan Hak Atas Tanah: Antara Waris, Hibah, Lelang, dan Jual Beli
Dalam sistem hukum agraria Indonesia, tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga simbol sosial, sumber kehidupan, dan identitas hukum warga negara. Oleh karena itu, setiap peralihan hak atas tanah harus tunduk pada mekanisme hukum publik yang sah, bukan sekadar kesepakatan di bawah tangan. Di sinilah pentingnya memahami empat jalur legal utama peralihan hak atas tanah: melalui pewarisan, hibah, lelang, dan jual beli.

Sayangnya, dalam praktik masyarakat, masih banyak terjadi kekeliruan mendasar – di mana peralihan tanah dilakukan hanya melalui surat pernyataan, pengakuan utang, atau bahkan transaksi tanpa akta otentik. Padahal, hukum agraria nasional menuntut akuntabilitas, legalitas, dan publikasi administratif sebagai bentuk perlindungan hukum atas hak milik.

Baca Juga:  “Hukum Tak Boleh Bingung: Refleksi dari Kemayoran, Pusat Kota yang Masih Tumpang Tindih”

1. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Pewarisan
Pewarisan adalah proses pemindahan hak milik atas benda dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, baik yang ditunjuk oleh pewaris maupun ditetapkan oleh pengadilan. Berdasarkan Pasal 36 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah karena pewarisan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan.

Prosedur ini bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk pengakuan negara terhadap perubahan subjek hukum atas tanah. Artinya, ahli waris baru dianggap sah memiliki tanah tersebut setelah didaftarkan dan diterbitkan sertifikat baru atas namanya.

Namun dalam praktik, banyak ahli waris yang mengabaikan kewajiban ini. Tanah dibiarkan tetap atas nama pewaris yang telah meninggal, hingga akhirnya memicu konflik keluarga dan sengketa hukum. Kritik yang patut diajukan: negara belum optimal dalam mendorong kesadaran administratif warga pasca-pewarisan. Edukasi publik dan penyederhanaan proses pendaftaran waris menjadi kebutuhan mendesak agar asas kepastian hukum benar-benar terwujud.

2. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Hibah
Hibah, menurut Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), adalah perjanjian di mana pemberi hibah di masa hidupnya dengan cuma-cuma dan tanpa dapat ditarik kembali menyerahkan suatu barang untuk kepentingan penerima hibah.

Namun, dalam konteks tanah, hibah tidak serta-merta sah saat tanah diserahkan. Berdasarkan Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997, setiap peralihan hak atas tanah – termasuk hibah – harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan didaftarkan di Kantor Pertanahan. Tanpa itu, hibah tersebut tidak memiliki kekuatan hukum publik.

Hukum juga memberikan batasan moral dan administratif:
Pasal 1684 KUHPerdata melarang hibah langsung kepada perempuan bersuami tanpa persetujuan hukum tertentu.
Pasal 1685 dan 1686 KUHPerdata mengatur bahwa hibah kepada anak di bawah umur atau orang di bawah perwalian harus diterima oleh orang tua atau wali dengan izin pengadilan.
Pasal 1672 KUHPerdata bahkan memungkinkan pemberi hibah menarik kembali hibah jika penerima hibah dan keturunannya meninggal lebih dahulu, sepanjang disepakati dalam perjanjian.

Dengan demikian, hibah tanah bukan tindakan sederhana. Ia mengandung konsekuensi hukum yang kompleks, baik dari aspek perdata maupun publik. Kritiknya: masih banyak masyarakat yang menganggap hibah cukup dengan surat pernyataan bermaterai, tanpa akta PPAT. Padahal, ini berpotensi menimbulkan sengketa kepemilikan di kemudian hari.

3. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Lelang
Lelang adalah penjualan barang di muka umum melalui mekanisme penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis untuk mendapatkan harga tertinggi. Berdasarkan sifatnya, lelang dibagi menjadi dua jenis:

Lelang eksekutorial, yaitu lelang yang dilakukan sebagai pelaksanaan putusan pengadilan atau penyitaan oleh lembaga negara (misalnya sita pajak, sita Kejaksaan, atau sita oleh Panitia Urusan Piutang Negara).

Lelang non-eksekutorial, yaitu lelang yang dilakukan terhadap barang milik instansi pemerintah, BUMN, BUMD, atau individu dan badan hukum yang secara sukarela menjual asetnya melalui lelang.

Dalam konteks hukum pertanahan, hasil lelang menjadi dasar sah peralihan hak atas tanah apabila dituangkan dalam risalah lelang resmi dan didaftarkan di BPN. Proses ini memiliki tingkat legitimasi tinggi karena dilaksanakan oleh pejabat lelang negara dan disaksikan publik.

Meski sistem lelang menjanjikan transparansi, praktik di lapangan masih sering diwarnai dugaan kolusi dan lemahnya pengawasan publik. Reformasi mekanisme lelang tanah perlu diperkuat dengan sistem digitalisasi, keterbukaan data, dan akses partisipasi masyarakat untuk mencegah penyalahgunaan.

4. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli
Jalur paling umum peralihan hak atas tanah di Indonesia adalah jual beli. Berdasarkan Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997, jual beli tanah baru sah secara hukum apabila dibuat dengan Akta Jual Beli (AJB) di hadapan PPAT atau Camat di wilayah yang belum memiliki PPAT.

AJB berfungsi sebagai bukti sah dan akta otentik bahwa hak kepemilikan tanah telah berpindah dari penjual kepada pembeli. Setelah penandatanganan AJB dan pelunasan kewajiban pajak, proses dilanjutkan ke pendaftaran perubahan kepemilikan di BPN agar sertifikat diperbarui atas nama pemilik baru.

Namun ironi muncul ketika praktik jual beli “bawah tangan” masih marak dilakukan. Banyak masyarakat yang mengandalkan surat pernyataan jual beli bermaterai tanpa akta PPAT. Padahal, secara hukum publik, transaksi semacam itu tidak mengikat negara, dan hak kepemilikan tetap sah atas nama pemilik lama.

Selama birokrasi pertanahan masih dianggap rumit, mahal, dan tidak inklusif, maka praktik informal akan terus hidup. Diperlukan terobosan kebijakan yang menyederhanakan proses tanpa mengorbankan legalitas.

Menjaga Kepastian Hukum: Mengapa Peralihan Hak Atas Tanah Tidak Bisa Dilakukan di Bawah Tangan
Dalam praktik kehidupan sehari-hari, transaksi jual beli tanah sering kali dilakukan secara sederhana, cukup dengan kesepakatan dan surat pernyataan di atas materai. Namun secara hukum, cara seperti ini bukan hanya tidak sah, tetapi juga berisiko tinggi menimbulkan sengketa di kemudian hari.

Secara normatif, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1457 hingga 1459 menegaskan bahwa jual beli merupakan suatu perjanjian di mana satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah, dan pihak lain berkewajiban membayar harga yang disepakati.

Namun, perjanjian jual beli ini baru melahirkan hubungan perdata, bukan pemindahan hak kepemilikan. Dengan kata lain, jual beli belum menyebabkan tanah beralih kepemilikan secara hukum. Untuk mencapai peralihan hak yang sah, dibutuhkan tindakan hukum lanjutan berupa penyerahan yuridis (balik nama) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Empat Pilar Kepastian Hukum dalam Peralihan Hak Atas Tanah
1. Kesepakatan antara para pihak.
Pada saat kedua belah pihak menyetujui objek dan harga tanah, maka jual beli dianggap telah terjadi secara hukum perdata. Namun, kesepakatan ini baru bersifat obligatoir—hanya melahirkan hak dan kewajiban untuk menyerahkan dan menerima pembayaran.
2. Belum beralihnya hak secara otomatis.
Walaupun kesepakatan telah terjadi, hak atas tanah belum berpindah kepada pembeli. Tanah masih secara yuridis tercatat atas nama penjual.
3. Keharusan adanya penyerahan yuridis (balik nama).
Proses ini menjadi puncak sahnya peralihan hak, karena melalui tindakan balik nama inilah pembeli memperoleh pengakuan hukum dan administratif sebagai pemilik baru di Kantor Pertanahan.
4. Akta otentik sebagai alat bukti sempurna.
Semua peralihan hak wajib dibuat melalui Akta Jual Beli (AJB) oleh PPAT berwenang. Akta ini tidak sekadar formalitas, tetapi jaminan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak kepemilikan.

Antara Kesadaran Hukum dan Praktik Sosial
Sayangnya, di lapangan, masih banyak masyarakat yang melakukan jual beli tanah di bawah tangan dengan alasan biaya pembuatan AJB yang dianggap mahal atau proses birokrasi yang rumit. Padahal, praktik ini sering berujung pada konflik agraria, penipuan ganda, atau bahkan kehilangan hak secara permanen.

Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara norma hukum dan budaya hukum masyarakat.
Negara memang telah menyediakan perangkat hukum yang jelas, seperti PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 16 Tahun 2021, namun penegakan kesadaran hukum masyarakat masih lemah.

Di sinilah pentingnya reformasi kebijakan pelayanan pertanahan – bukan hanya mempermudah prosedur administratif, tetapi juga menumbuhkan budaya hukum baru yang menempatkan kepastian hukum sebagai kebutuhan dasar warga negara.

Dari Legalitas ke Literasi Hukum
Peralihan hak atas tanah bukan sekadar urusan administratif, tetapi fondasi dari keadilan sosial dan ketertiban hukum di bidang agraria.
Melalui akta resmi dan pendaftaran tanah, negara memberikan jaminan kepemilikan dan perlindungan hukum kepada rakyatnya.

Maka, setiap warga negara perlu memahami bahwa transaksi di bawah tangan bukanlah jalan pintas, melainkan jebakan hukum.
Masyarakat yang melek hukum tidak hanya taat prosedur, tetapi juga sadar akan nilai keadilan yang menyertainya.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Berita ini 27 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x