Jakarta, Majalahjakarta.com – Di tengah dinamika sosial dan kompleksitas hukum keluarga di Indonesia, muncul satu fenomena menarik namun juga menimbulkan perdebatan: gugatan pembatalan pencatatan pernikahan setelah salah satu pihak meninggal dunia.
Fenomena ini disoroti oleh Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (DPP-PPNT) Jakarta, lembaga advokasi kebijakan publik yang aktif menelaah persoalan hukum publik dan sosial kemasyarakatan.
Menurut hasil kajian hukum yang dilakukan oleh DPP-PPNT, secara normatif gugatan pembatalan pencatatan perkawinan tidak dapat diajukan setelah salah satu pihak meninggal dunia. Hal ini berakar pada prinsip dasar hukum perdata dan hukum keluarga bahwa kematian secara otomatis memutuskan hubungan hukum perkawinan, sehingga tidak lagi ada subjek hukum yang dapat dimintai tanggung jawab atau menjadi pihak dalam gugatan pembatalan.
Dasar Yuridis: Perkawinan yang Telah Putus Tidak Dapat Dibatalkan
Secara hukum, ketentuan ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, serta diperkuat melalui praktik yurisprudensi di berbagai pengadilan agama dan negeri.
Pasal 38 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.
Artinya, ketika salah satu pihak telah meninggal dunia, status perkawinan dianggap telah berakhir secara hukum (ipso jure), dan gugatan pembatalan atas perkawinan tersebut menjadi kehilangan objek.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pembatalan perkawinan – sebagaimana diatur dalam Pasal 22-28 UU Perkawinan – hanya dapat diajukan selama perkawinan masih berlangsung, dengan alasan tertentu, seperti tidak terpenuhinya syarat sah perkawinan atau adanya unsur penipuan dalam perjanjian perkawinan.
Namun, jika salah satu pihak telah meninggal, pengajuan gugatan pembatalan kehilangan relevansi hukum karena hubungan hukum itu sendiri telah berakhir.
Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Substantif
Problem ini menarik karena mempertemukan dua prinsip fundamental dalam sistem hukum: kepastian hukum dan keadilan substantif.
Dari sisi kepastian hukum, jelas bahwa hukum positif menutup ruang untuk membatalkan sesuatu yang sudah tidak lagi ada secara hukum (karena subjeknya telah meninggal).
Namun dari sisi keadilan substantif, sering kali muncul alasan moral, sosial, bahkan ekonomi, yang mendorong pihak keluarga atau ahli waris untuk mengajukan pembatalan, misalnya karena diduga ada pemalsuan dokumen pernikahan, penyalahgunaan identitas, atau perkawinan yang dilakukan dengan cara melanggar hukum agama.
Dalam konteks inilah muncul dilema hukum publik: haruskah negara membuka ruang bagi pembatalan perkawinan pascakematian jika terbukti pernikahan dilakukan secara melawan hukum?
Ataukah negara tetap harus menjaga prinsip formalistik demi kepastian hukum, meski berpotensi mengorbankan rasa keadilan?
Negara Hukum Tidak Boleh Abai terhadap Fakta Sosial
DPP-PPNT menilai bahwa negara perlu mereformasi mekanisme penyelesaian hukum terkait status perkawinan yang cacat hukum namun telah berakhir karena kematian.
Alih-alih dibiarkan menggantung di ruang abu-abu hukum, kasus-kasus semacam ini seharusnya dapat diselesaikan melalui mekanisme koreksi administrasi pencatatan sipil atau penetapan pengadilan, bukan gugatan pembatalan.
Pendekatan ini akan tetap menghormati asas res judicata pro veritate habetur (keputusan hukum dianggap benar), tanpa menghapus peluang bagi negara untuk memperbaiki kesalahan administrasi demi kepastian hukum publik.
Lebih jauh, lemahnya koordinasi antara Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dengan peradilan agama/negeri sering kali memperburuk masalah. Data pencatatan perkawinan yang tidak sinkron menyebabkan kerancuan hukum dalam penetapan waris, status anak, dan hak perdata lain.
Dalam era digitalisasi administrasi, ketidakterpaduan sistem ini adalah ironi bagi negara hukum modern.
Ketika Kematian Mengakhiri Perkawinan: Celah Hukum antara Keadilan, Moralitas, dan Formalitas Administratif
Di tengah meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, masih muncul pertanyaan mendasar: apakah mungkin membatalkan perkawinan setelah salah satu pihak meninggal dunia? Pertanyaan ini seolah sederhana, namun di baliknya tersembunyi dinamika yang kompleks antara hukum positif, moralitas, dan logika keadilan substantif.
Menurut Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) yang konsen pada advokasi kebijakan publik dan reformasi hukum keluarga, jawaban tegasnya: tidak bisa.
Sebab, kematian secara hukum otomatis mengakhiri perkawinan. Artinya, begitu salah satu pasangan meninggal dunia, ikatan hukum suami-istri itu telah selesai dengan sendirinya – lex finis matrimonii est mors, hukum menganggap perkawinan berakhir dengan kematian.
Tujuan Pembatalan: Menghapus yang Tidak Sah Sejak Awal
Pembatalan perkawinan memiliki fungsi yuridis yang berbeda dengan perceraian. Jika perceraian memutus perkawinan yang sah, maka pembatalan adalah bentuk deklarasi bahwa perkawinan sejak awal tidak pernah sah secara hukum.
Hal ini bisa terjadi misalnya karena:
Salah satu pihak masih terikat perkawinan sah dengan orang lain.
Perkawinan dilakukan dengan paksaan atau tanpa persetujuan bebas.
Usia perkawinan belum memenuhi syarat hukum.
Namun, seluruh dasar tersebut hanya dapat digunakan selama perkawinan masih eksis secara hukum, bukan setelah berakhir karena kematian. Begitu kematian terjadi, pengajuan pembatalan dianggap kehilangan objek hukum – karena tidak ada lagi “perikatan perkawinan” yang bisa dibatalkan.
Tenggat Waktu dan Konsekuensi Hukum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta peraturan turunannya, tidak memberikan ruang untuk pembatalan pasca kematian. Dengan kata lain, tenggat waktu pengajuan pembatalan adalah selama kedua pihak masih hidup.
Jika salah satu meninggal dunia, perkawinan dianggap sah sampai pada saat kematian – tidak peduli jika di kemudian hari ditemukan cacat administratif atau dugaan pemalsuan data.
Konsekuensinya, hak-hak hukum yang timbul dari perkawinan tersebut tetap diakui, termasuk:
– Hak waris pasangan yang masih hidup,
– Keabsahan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut,
– Serta tanggung jawab perdata yang melekat selama masa perkawinan berlangsung.
Celakanya: Ketika Formalitas Mengalahkan Keadilan Substantif
Di sinilah letak kritik tajam terhadap praktik hukum keluarga di Indonesia. Dalam banyak kasus, kematian justru menutup pintu koreksi hukum terhadap pernikahan yang secara substansial bermasalah.
Seolah-olah hukum berkata, “karena salah satu pihak telah tiada, maka seluruh kesalahan hukum ikut terkubur.” Padahal, dalam banyak kasus, ada korban yang hidup dan dirugikan – baik karena manipulasi status, penipuan, atau penyalahgunaan identitas sipil.
Kelemahan sistem ini memperlihatkan keterbatasan hukum positif kita yang terlalu kaku pada formalitas administratif, tanpa membuka ruang bagi penegakan keadilan substantif pasca peristiwa hukum kematian.
Arah Reformasi: Menyentuh Aspek Keadilan Pasca-Kematian
Reformasi hukum keluarga di Indonesia ke depan perlu memikirkan mekanisme hukum alternatif bagi pihak yang merasa dirugikan oleh perkawinan yang cacat hukum, meskipun salah satu pihak telah meninggal dunia.
Model posthumous judicial review of marriage-seperti yang diatur di beberapa negara Eropa-dapat menjadi inspirasi. Melalui mekanisme ini, pengadilan dapat menilai keabsahan perkawinan secara retrospektif untuk kepentingan hukum ahli waris atau pihak ketiga yang berkepentingan.
Langkah ini bukan sekadar penegakan norma, melainkan bagian dari pembersihan sistem hukum dari jejak manipulasi administratif dan penyalahgunaan status pernikahan yang kerap terjadi di lapangan.
Antara Akta dan Nurani
Pada akhirnya, hukum perkawinan tidak boleh berhenti pada huruf undang-undang semata. Ia harus mampu membaca ruh keadilan di balik setiap peristiwa manusiawi.
Ketika kematian mengakhiri perkawinan, mestinya bukan berarti keadilan ikut mati.
Negara hukum yang sehat harus berani membuka ruang refleksi – bahwa administrasi bukan segalanya, dan nurani hukum kadang lebih jujur daripada selembar akta nikah.
Arthur Noija SH

















