Jakarta, Majalahjakarta.com – Di tengah gempuran digitalisasi administrasi publik, Kartu Tanda Penduduk (KTP) seharusnya menjadi simbol tertib hukum dan ketepatan identitas warga negara. Namun, realitas sosial justru menampilkan paradoks: banyak warga yang masih memanipulasi alamat domisili, menjadikan KTP sekadar formalitas administratif, bukan bukti kejujuran sipil.
Fenomena ini disoroti oleh Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (DPP-PPNT) – sebuah lembaga yang fokus pada advokasi kebijakan publik dan tata kelola pemerintahan yang bersih. Dalam pandangan mereka, alamat KTP bukan sekadar data kependudukan, melainkan identitas hukum resmi yang berimplikasi langsung terhadap hak dan kewajiban seseorang sebagai warga negara.
KTP dan Domisili: Identitas Hukum yang Mengikat
Dalam perspektif hukum publik, alamat yang tertera pada KTP merupakan domisili hukum resmi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006).
Domisili inilah yang menjadi dasar legal untuk menentukan yurisdiksi hukum, hak politik, akses layanan publik, hingga administrasi perdata seperti pernikahan, waris, dan kepemilikan tanah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Artinya, alamat KTP bukan sekadar angka dan nama jalan, melainkan titik legalitas yang mengikat status warga negara dalam sistem hukum nasional.
Ketika seseorang mencantumkan alamat fiktif, berbeda dengan tempat tinggal de facto, atau sengaja tidak memperbarui data setelah pindah, ia telah melanggar prinsip kejujuran administratif dan berpotensi melakukan tindak pidana.
Pemalsuan Alamat: Dari Administrasi Keliru ke Pelanggaran Pidana
Pemalsuan alamat pada KTP, baik dengan motif ekonomi (misalnya untuk memperoleh bantuan sosial, fasilitas pendidikan, atau layanan publik tertentu) maupun politik (untuk kepentingan pemilihan umum), tidak bisa dipandang enteng.
Secara hukum, tindakan ini dapat dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, karena KTP merupakan dokumen resmi negara.
Selain itu, berdasarkan Pasal 93 Undang-Undang Administrasi Kependudukan, setiap warga negara wajib melapor perubahan domisili paling lambat 30 hari sejak berpindah tempat tinggal, dan kelalaian atas hal ini dapat dikenai sanksi administratif atau pidana ringan.
Lebih jauh, pemalsuan identitas juga dapat berimplikasi terhadap tindak pidana lain, seperti penipuan, korupsi data penerima bantuan sosial, hingga penyalahgunaan dalam tindak kejahatan siber.
Alamat KTP dan Legitimasi Hukum Warga Negara: Ketika Identitas Menjadi Senjata Ganda dalam Sistem Administrasi Publik
Alamat yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) bukan sekadar deretan huruf dan angka administratif. Ia adalah penanda identitas hukum, penentu hak dan kewajiban warga negara, serta fondasi legitimasi seseorang di mata negara. Sayangnya, kesadaran publik akan fungsi strategis alamat KTP ini masih sangat rendah-sementara praktik penyalahgunaannya terus meningkat.
Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal dalam hasil kajian advokasinya mencatat bahwa masih banyak warga menggunakan alamat fiktif atau tidak sesuai domisili faktual. Padahal, dalam perspektif hukum publik, alamat KTP merupakan domisili resmi yang diakui secara sah oleh negara, sebagaimana diatur dalam sistem administrasi kependudukan nasional. Ketidaksesuaian antara alamat administratif dan alamat faktual bukanlah pelanggaran sepele-melainkan potensi tindak pidana yang dapat berdampak pada integritas sistem hukum dan kebijakan publik itu sendiri.
Fungsi Alamat KTP dalam Perspektif Hukum Publik
1. Sebagai Identifikasi Resmi dan Legalitas Domisili
Alamat pada KTP menjadi data identitas yang sah dan terperinci, termasuk RT/RW sebagai indikator wilayah administratif terkecil. Dalam praktiknya, alamat ini bukan hanya soal lokasi fisik, tetapi juga representasi hukum atas keberadaan seseorang di dalam sistem negara.
2. Sebagai Dasar Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Warga Negara
Dari urusan hak pilih hingga penerimaan bantuan sosial, alamat KTP adalah kunci administratif. Ia menjadi dasar negara menentukan hak warga dan membatasi kewajiban, seperti pembayaran pajak, partisipasi politik, hingga tanggung jawab sosial.
3. Sebagai Instrumen Penegakan Hukum dan Kewenangan Yuridis
Dalam konteks hukum perdata dan pidana, alamat KTP menentukan wilayah yurisdiksi pengadilan, proses pemanggilan hukum, dan validitas dokumen hukum lainnya. Dengan kata lain, alamat adalah “titik koordinat” hukum seseorang di mata negara.
4. Sebagai Basis Data Kependudukan dan Kebijakan Publik Berbasis Data
Validitas alamat menjadi krusial dalam memastikan akurasi data kependudukan. Kesalahan alamat bukan hanya persoalan administratif, melainkan dapat menimbulkan kerugian negara, terutama dalam penyaluran bantuan sosial dan perencanaan pembangunan.
Konsekuensi Hukum dari Pemalsuan dan Penyalahgunaan Identitas
Praktik memalsukan alamat atau menggunakan identitas orang lain demi kepentingan pribadi adalah bentuk kejahatan yang serius. Berdasarkan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, pelaku dapat dijerat pidana jika terbukti menggunakan data palsu untuk memperoleh keuntungan. Selain itu, tindakan menyebarluaskan data pribadi tanpa izin juga melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, dengan ancaman pidana dan denda administratif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa data pribadi bukan sekadar informasi, melainkan aset hukum dan sosial yang wajib dijaga. Dalam konteks digitalisasi administrasi publik, penyalahgunaan data KTP bahkan berpotensi menimbulkan kejahatan siber dan manipulasi kebijakan berbasis data kependudukan.
Catatan Kritis: Negara Jangan Absen
Kritiknya jelas: negara tidak boleh hanya menjadi penonton atas kekacauan data identitas warga. Sistem data governance kependudukan masih lemah, terutama di tingkat RT/RW, di mana validasi domisili sering kali hanya formalitas. Ketika alamat tidak lagi mencerminkan realitas, maka hukum kehilangan pijakan, dan kebijakan publik kehilangan arah.
Penguatan sistem administrasi kependudukan harus menjadi prioritas kebijakan hukum nasional. Sebab, dari satu lembar KTP, sesungguhnya negara sedang mempertaruhkan dua hal besar: kepercayaan publik dan legitimasi hukumnya sendiri.
Arthur Noija SH

















