Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal yang berfokus pada advokasi kebijakan publik menyoroti persoalan yang lama terpendam namun sarat implikasi hukum – kedudukan hak Eigendom Verponding yang masih dikuasai oleh warga negara Indonesia asli.
Persoalan ini bukan sekadar sengketa administratif pertanahan, melainkan juga ujian atas konsistensi negara dalam menegakkan prinsip reforma agraria dan kedaulatan hukum atas tanah.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, sistem kepemilikan tanah di Indonesia mengalami perubahan mendasar. UUPA menegaskan asas nasionalitas dalam penguasaan tanah, menggantikan sistem kolonial yang berbasis hak Eigendom – sebuah hak milik absolut yang hanya dikenal dalam sistem hukum Belanda.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai tindak lanjut, hak Eigendom tersebut wajib dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) dengan jangka waktu paling lama 20 tahun. Artinya, sejak UUPA berlaku, seluruh hak Eigendom otomatis berakhir pada 24 September 1980, kecuali telah dikonversi secara sah menjadi HGB.
Namun fakta di lapangan menunjukkan, masih banyak tanah bekas Eigendom Verponding yang dikuasai atau dimanfaatkan oleh warga negara Indonesia tanpa kejelasan status hukum. Padahal, menurut ketentuan konversi, jika hingga batas waktu tersebut hak Eigendom tidak dikonversi, maka hak itu hapus demi hukum, dan tanahnya kembali menjadi tanah negara – yakni tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk kemudian dapat didayagunakan sesuai kepentingan umum.
Di sinilah letak persoalan kebijakan publik: apakah negara telah cukup tegas menata ulang hak-hak lama yang tidak dikonversi, atau justru membiarkan ketidakpastian hukum berlarut-larut?
Menelusuri Jejak Eigendom Verponding: Warisan Kolonial di Tengah Kedaulatan Agraria Nasional
Dalam sejarah hukum Indonesia, istilah Eigendom bukan sekadar terminologi hukum peninggalan Belanda, melainkan simbol dari warisan kolonial yang masih menyisakan jejak dalam sistem pertanahan nasional.
Secara etimologis, Eigen berarti “milik pribadi” dan Dominium berarti “hak penguasaan”, sehingga Eigendom secara harfiah dapat dimaknai sebagai hak milik pribadi yang bersifat absolut.
Pasal 570 Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata) menjelaskan:
“Hak Milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain. Semuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan perundang-undangan.”
Rumusan pasal ini menunjukkan karakter khas hukum perdata barat yang menempatkan hak individual di atas kepentingan komunal – sebuah paradigma yang sangat berbeda dengan jiwa hukum agraria nasional yang menekankan asas kebersamaan, keberlanjutan, dan fungsi sosial tanah.
Sementara itu, istilah Verponding secara historis bukan berkaitan langsung dengan hak kepemilikan, melainkan pungutan pajak atas harta tetap (onroerende goederen).
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1953, yang mengesahkan Undang-Undang Darurat Nomor 15 Tahun 1952 tentang Pemungutan Pajak Verponding, disebutkan bahwa:
“Dengan nama verponding dikenakan suatu pajak atas harta tetap sebagaimana disebut dalam Pasal 3 Ordonantie Verponding 1928.”
Dengan demikian, Eigendom Verponding sesungguhnya merupakan gabungan dari dua konsep hukum kolonial: hak milik barat (eigendom) dan pajak atas harta tetap (verponding). Kedua konsep ini berakar kuat dalam sistem hukum kolonial Belanda yang secara sadar dirancang untuk melayani kepentingan ekonomi kaum pendatang dan pemerintah Hindia Belanda, bukan untuk rakyat Indonesia sebagai pemilik sah tanah air ini.
Dualitas Hukum Agraria: Antara Adat dan Barat
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, Indonesia hidup dalam situasi dualisme hukum agraria – suatu kondisi hukum yang ironis dan diskriminatif.
Di satu sisi berlaku hukum agraria adat yang tumbuh dari nilai komunal dan kearifan lokal masyarakat Nusantara. Di sisi lain berlaku hukum agraria barat, yang berbasis pada kepemilikan individualistik dan sertifikasi hukum kolonial.
Dualisme ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi mencerminkan ketimpangan sosial dan politik yang diwariskan kolonialisme.
Kaum pribumi tunduk pada hukum adat yang menekankan gotong royong dan hak ulayat, sementara golongan Eropa dan keturunan Timur Asing diberi hak eigendom yang nyaris absolut.
Hasilnya: tanah menjadi instrumen penguasaan, bukan kesejahteraan.
Lahirnya UUPA 1960 sejatinya merupakan upaya monumental bangsa Indonesia untuk mengakhiri dualisme hukum agraria dan mengembalikan tanah kepada fungsi sosialnya.
Namun, sebagaimana sering terjadi dalam hukum Indonesia, revolusi normatif tidak selalu diikuti oleh reformasi administratif dan keberanian politik.
Dualisme Hukum Agraria: Warisan Kolonial yang Masih Menjerat Tanah Indonesia
Salah satu paradoks terbesar dalam sejarah hukum Indonesia adalah adanya dualisme sistem agraria yang diwariskan dari masa kolonial Belanda. Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, bangsa ini hidup dalam dua dunia hukum yang berbeda: hukum agraria adat dan hukum agraria barat.
Secara sederhana, hukum agraria adat berlaku bagi penduduk asli Indonesia yang tunduk pada hukum adat, sementara hukum agraria barat diberlakukan untuk mereka yang tunduk pada Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat) – yakni orang Belanda, orang Eropa, dan golongan Timur Asing.
Perbedaan ini bukan sekadar soal sistem hukum, melainkan cermin politik hukum kolonial yang diskriminatif. Tanah, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan rakyat, justru dijadikan alat penguasaan melalui perbedaan kelas hukum yang sengaja dipelihara untuk melayani kepentingan ekonomi kolonial.
Tanah Adat: Ruang Hidup yang Tak Diakui Negara
Dalam sistem agraria adat, dikenal berbagai jenis hak atas tanah yang melekat pada kehidupan sosial dan budaya masyarakat di tiap daerah.
Istilah seperti tanah yasan, tanah gogolan, tanah kas desa, tanah pangonan (penggembalaan) adalah bentuk konkret dari bagaimana masyarakat adat memaknai tanah sebagai ruang hidup bersama, bukan sekadar aset ekonomi.
Namun, karena hukum adat bersifat tidak tertulis dan berakar pada kebiasaan masyarakat setempat, hak-hak tersebut tidak mendapatkan pengakuan formal dalam sistem hukum kolonial.
Negara kolonial hanya mengakui apa yang dapat dicatat dan disertifikatkan, bukan apa yang diwariskan dan dijaga secara turun-temurun.
Akibatnya, masyarakat adat dianggap tidak memiliki bukti kepemilikan tanah, meskipun mereka telah menguasai dan mengolah tanah tersebut selama berabad-abad.
Ironinya, konsep “tanah tanpa sertifikat” yang lahir dari sistem kolonial itu masih hidup hingga kini, bahkan menjadi sumber konflik agraria yang terus berulang.
Tanah Barat: Hak Milik yang Dilindungi Hukum dan Pajak
Sebaliknya, dalam hukum agraria barat, tanah diperlakukan sebagai benda ekonomi dengan nilai hukum yang pasti dan tertulis.
Hak-hak seperti eigendom (hak milik), opstal (hak mendirikan bangunan di atas tanah orang lain), erfpacht (hak guna usaha jangka panjang), recht van gebruik (hak pakai), dan bruikleen (hak pinjam pakai) diatur dengan rapi dalam Burgerlijk Wetboek (BW).
Setiap hak tersebut memiliki jaminan hukum dan sertifikat resmi yang diterbitkan oleh Overschrijvings Ambtenaar (Kantor Pendaftaran Tanah) berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie Stb. 1834 No. 27.
Dengan sertifikat itu, pemilik tanah memperoleh bukti hak yang diakui negara dan dapat diperjualbelikan, diwariskan, bahkan diagunkan.
Inilah akar dari ketimpangan struktural dalam kepemilikan tanah di Indonesia.
Golongan yang tunduk pada hukum barat memperoleh kepastian hukum dan perlindungan administratif, sementara rakyat pribumi hanya mengandalkan pengakuan sosial dan memori adat yang kerap diabaikan oleh negara.
Ketimpangan yang Terinstitusionalisasi
Perbedaan mendasar antara hukum adat dan hukum barat menciptakan stratifikasi sosial dan hukum yang tajam:
Bagi rakyat asli, hukum agraria adat yang hidup dari kebiasaan tetap diperlakukan sebagai hukum “tidak resmi”, tanpa pendaftaran, tanpa sertifikat, tanpa perlindungan administratif.
Bagi golongan Eropa dan Timur Asing, hukum agraria barat menjadi alat untuk memperkuat kepemilikan pribadi dan menjamin kepastian hukum.
Sistem ganda ini menjadikan hukum bukan alat keadilan, tetapi instrumen kekuasaan yang membedakan warga berdasarkan ras dan status hukum.
Ironisnya, meskipun kolonialisme telah lama berakhir, jejaknya masih terasa dalam praktik hukum pertanahan modern Indonesia.
Rakyat kecil masih sering dihadapkan pada situasi di mana “bukti tertulis” lebih berharga daripada sejarah penguasaan dan kearifan lokal.
Menakar Kedudukan Eigendom Verponding: Antara Sejarah Kolonial dan Keadilan Agraria Nasional
Pembahasan mengenai Eigendom Verponding selalu menarik dan penuh perdebatan. Tidak hanya karena menyangkut sejarah panjang sistem pertanahan kolonial Belanda, tetapi juga karena menyentuh inti persoalan keadilan hukum agraria nasional: siapa yang berhak atas tanah, dan sejauh mana negara menjamin kepastian serta keberlanjutan hak itu.
Recht Cadaster dan Fiscal Cadaster: Dua Wajah Pendaftaran Tanah Kolonial
Sebelum lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, sistem pendaftaran tanah di Hindia Belanda diatur berdasarkan dua rezim hukum yang sangat berbeda – sebuah ironi yang mencerminkan stratifikasi sosial hukum di masa kolonial.
1. Recht Cadaster adalah sistem pendaftaran tanah untuk tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat, seperti hak eigendom, opstal, dan erfpacht. Tujuannya memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan administratif kepada pemilik tanah. Artinya, hukum barat tidak hanya mengatur, tetapi juga meneguhkan kepemilikan sebagai instrumen kekuasaan dan kapital.
2. Sebaliknya, Fiscal Cadaster diterapkan untuk tanah-tanah adat yang tunduk pada hukum agraria adat. Pendaftarannya bukan untuk menjamin kepastian hukum, tetapi semata-mata untuk kepentingan fiskal – menentukan siapa yang wajib membayar pajak atas tanah tersebut.
Dengan kata lain, tanah adat diakui hanya sejauh negara kolonial memperoleh manfaat pajak, bukan untuk melindungi hak masyarakat adat.
Dari sini tampak jelas: bahkan dalam administrasi tanah pun, kolonialisme bekerja melalui mekanisme hukum. Kepastian hanya diberikan kepada yang berkuasa, sedangkan rakyat adat dibiarkan hidup di bawah bayang-bayang “ketidakpastian yang dilegalkan”.
Agrarisch Eigendom: Celah Keadilan di Tengah Sistem Kolonial
Namun, dalam dinamika hukum kolonial yang kompleks, muncul satu celah hukum yang memungkinkan orang pribumi mendaftarkan tanah adatnya pada pemerintahan kolonial. Mereka kemudian diberikan hak yang disebut Agrarisch Eigendom, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (7) Indische Staatsregeling, Staatsblad 1870 No. 117.
Agrarisch Eigendom ini merupakan kompromi hukum antara kepentingan kolonial dan pengakuan terbatas terhadap rakyat pribumi. Meskipun terlihat memberi peluang, sesungguhnya ini adalah “pintu sempit” yang hanya bisa dimasuki oleh segelintir pribumi berstatus sosial tinggi atau memiliki hubungan administratif dengan pemerintah kolonial.
Dengan kata lain, bahkan ketika kolonialisme tampak “memberi ruang”, hukum tetap dijadikan filter sosial untuk membatasi siapa yang layak disebut pemilik sah.
UUPA 1960: Janji Menghapus Dualisme, Realitas Menyisakan Jejak
Sejak berlakunya UUPA pada 24 September 1960, Indonesia secara resmi menghapus dualisme hukum agraria – antara hukum adat dan hukum barat – dan menggantinya dengan satu sistem hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Secara normatif, UUPA menegaskan bahwa hak atas tanah lama (termasuk eigendom, erfpacht, opstal, dan lainnya) dapat dikonversi menjadi hak baru yang sesuai dengan prinsip hukum nasional.
Namun, dalam praktiknya, ketentuan konversi ini justru menjadi sumber polemik dan ketidakpastian baru, terutama terkait dengan batas waktu konversi hak Eigendom Verponding milik warga negara Indonesia asli.
Kasus Konkret: Eigendom Verponding Milik Pribumi
Salah satu contoh menarik adalah Putusan Pengadilan Negeri Samarinda Nomor 13/Pdt.G/2020/PN.Smd.
Dalam perkara ini, penggugat mengajukan Akte Hak Kepemilikan Tanah (Acta Recht van Eigendom) seluas 42,5 hektar, tertanggal 20 Maret 1940, atas nama Raden Moeja Wiranata Koesomah, seorang pribumi, yang dibuat di hadapan Notaris J.W. Roeloffss Valk di Batavia.
Fakta ini menegaskan bahwa orang pribumi pada masa kolonial juga dapat memiliki tanah berstatus Eigendom Verponding, sebuah fakta historis yang sering terabaikan dalam wacana hukum nasional.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana kedudukan hukum Eigendom Verponding yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) asli setelah berlakunya UUPA?
Penegasan Hukum: Hak Eigendom Dapat Dikonversi Menjadi Hak Milik
Merujuk pada Pasal I ayat (1) Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA, dinyatakan:
“Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.”
Dengan demikian, Eigendom Verponding yang dimiliki oleh WNI asli tetap melekat hak kepemilikannya, dan secara hukum dapat dikonversi menjadi Hak Milik.
Syarat utamanya adalah bahwa pemilik hak tersebut memenuhi ketentuan sebagai subjek Hak Milik sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UUPA.
Yang lebih penting, tidak ada batas waktu untuk melakukan konversi tersebut bagi WNI. Artinya, hak konversi tidak gugur karena waktu, selama pemiliknya memenuhi syarat kewarganegaraan Indonesia.
Prinsip ini menegaskan keadilan substantif dalam hukum agraria nasional – bahwa rakyat Indonesia tidak boleh kehilangan haknya atas tanah hanya karena lahir dari sistem hukum kolonial.
Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Historis
Namun, di lapangan, implementasi ketentuan konversi ini sering kali tidak semudah teori.
Banyak warga negara Indonesia yang mewarisi tanah Eigendom Verponding justru terjebak dalam birokrasi pertanahan yang kaku, di mana dokumen lama seringkali diabaikan atau dianggap “tidak sah” oleh pejabat administrasi modern.
Inilah bentuk kolonialisme administratif yang masih tersisa: rakyat yang secara hukum berhak, harus “membuktikan ulang” haknya di hadapan negara yang seharusnya melindungi mereka.
Dalam konteks ini, keadilan hukum agraria seharusnya tidak berhenti pada kepastian administratif, tetapi meliputi pengakuan terhadap sejarah, niat baik, dan hak-hak warga negara yang sah secara hukum maupun moral.
Jangan biarkan hukum agraria nasional menjadi alat penghapus sejarah, ketika seharusnya ia menjadi jembatan antara masa lalu kolonial dan cita-cita keadilan agraria bangsa merdeka.
Menimbang Ulang Konversi Hak Eigendom: Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Agraria
Salah satu tonggak penting dalam sejarah hukum pertanahan nasional adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, yang secara resmi menghapus dualisme sistem hukum tanah warisan kolonial: hukum agraria barat dan hukum agraria adat. Namun, di balik semangat unifikasi tersebut, masih tersisa satu bab kompleks yang sering menimbulkan tafsir ganda di ruang hukum maupun kebijakan, yakni konversi Hak Eigendom-khususnya yang dimiliki oleh pihak asing dan perwakilan diplomatik.
Menurut Pasal I ayat (2) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, Hak Eigendom yang dimiliki oleh Kepala Perwakilan dan Kedutaan Negara Asing sejak berlakunya UUPA dikonversi menjadi Hak Pakai. Artinya, negara tetap memberikan ruang penghormatan terhadap kepentingan diplomatik, tetapi dalam bentuk hak yang bersifat terbatas dan sementara.
Konversi ini diberi batas waktu selama 20 tahun sejak UUPA diundangkan, sehingga berakhir pada 24 September 1980.
Dengan demikian, apabila hingga batas waktu tersebut tidak dilakukan konversi menjadi Hak Pakai, maka Hak Eigendom dianggap hapus, dan tanah tersebut kembali menjadi tanah negara-yakni tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Prinsip ini sekaligus menunjukkan bagaimana negara mengambil alih kembali kendali atas tanah yang sebelumnya berada di bawah rezim kolonial, sebagai bagian dari upaya menegakkan kedaulatan agraria nasional.
Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan kritis: Apakah mekanisme konversi ini telah berjalan dengan adil dan transparan, terutama bagi pihak yang memiliki hak sebelum berlakunya UUPA?
Ketentuan dalam Pasal I ayat (3) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA memperluas subjek hukum konversi, mencakup:
1. Warga negara asing,
2. Orang berkewarganegaraan ganda (Indonesia dan asing), dan
3. Badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah.
Bagi kelompok ini, Hak Eigendom dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) dengan jangka waktu yang sama, yakni 20 tahun sejak UUPA berlaku. Artinya, pada 24 September 1980, seluruh hak yang belum dikonversi otomatis gugur dan kembali menjadi tanah negara.
Ketentuan ini menunjukkan keberanian hukum agraria Indonesia untuk menegakkan prinsip tanah untuk bangsa sendiri, tetapi di sisi lain juga membuka ruang kritik terkait aspek administrasi dan keadilan prosedural.
Banyak kasus menunjukkan bahwa proses konversi seringkali tidak disertai pendataan yang komprehensif, serta minimnya sosialisasi dan asistensi hukum kepada para pemegang hak lama-terutama mereka yang tidak memahami kompleksitas regulasi kolonial dan transisi hukum nasional.
Di sinilah letak kritik utama kebijakan agraria: negara berhak mengatur tanah untuk kemakmuran rakyat, tetapi negara juga wajib memastikan bahwa hak individu yang sah tidak lenyap oleh kelalaian administratif.
Keadilan agraria bukan hanya soal siapa menguasai tanah, tetapi juga bagaimana hukum bekerja melindungi hak yang lahir dari sejarah dan legitimasi hukum yang sah.
Dalam konteks ini, konversi Hak Eigendom menjadi Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan tidak sekadar proses legal formal, tetapi merupakan uji moralitas hukum nasional: apakah kita benar-benar memerdekakan rakyat dari sisa-sisa kolonialisme, atau justru melanggengkan ketimpangan baru dalam bentuk hukum nasional yang kaku dan eksklusif?
Konversi Hak Eigendom yang Dibebani Hak Opstal dan Hak Erfpacht: Antara Kepastian Hukum dan Dilema Historis Tanah Bekas Hak Barat
Dalam sejarah hukum agraria Indonesia, Pasal I ayat (4) Ketentuan-Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 menjadi salah satu ketentuan penting yang menandai peralihan sistem hukum tanah dari warisan kolonial ke sistem nasional.
Pasal ini secara tegas mengatur bahwa apabila Hak Eigendom dibebani hak opstal atau hak erfpacht, maka Hak Eigendom tersebut dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) dengan jangka waktu 20 tahun sejak UUPA diberlakukan, yakni hingga 24 September 1980.
Dengan demikian, jika hingga tanggal tersebut konversi tidak dilakukan, maka Hak Eigendom hapus demi hukum dan tanahnya berubah status menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Prinsip ini tampak sederhana dalam rumusan normatif, namun kompleks dalam implementasi di lapangan, terutama ketika menyangkut tanah-tanah bekas Eigendom Verponding yang masih dikuasai secara fisik oleh warga negara Indonesia.
Lebih lanjut, penegasan konversi hak atas tanah bekas Eigendom Verponding harus diajukan secara administratif oleh pemilik atau ahli warisnya kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Prosedur ini menjadi jembatan antara hak historis dengan legitimasi hukum modern.
Namun, dalam praktiknya, banyak persoalan muncul. Tidak sedikit warga yang mewarisi tanah berstatus Eigendom Verponding tidak mengetahui keharusan administratif konversi tersebut, sehingga hak historis mereka terancam hilang. Negara, dalam hal ini, tampak lebih fokus menegakkan norma kepastian hukum, tetapi kerap melupakan aspek keadilan transisional agraria-yakni keadilan yang mengakomodasi perubahan sistem hukum tanpa memutus akar sejarah kepemilikan.
Transformasi Hukum Agraria: Dari UUPA ke PP 18 Tahun 2021
Perubahan lanskap hukum agraria Indonesia semakin mengeras setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021).
Peraturan ini secara eksplisit menegaskan dalam Pasal 95 ayat (1) bahwa:
“Seluruh alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.”
Dengan ketentuan ini, dokumen lama seperti Eigendom Verponding, erfpacht, dan opstal tidak lagi memiliki kekuatan pembuktian hukum, melainkan hanya dapat dijadikan petunjuk administratif dalam proses permohonan pendaftaran tanah baru.
Konsekuensinya, pemohon wajib membuat surat pernyataan penguasaan fisik tanah yang disertai dua orang saksi, dan bertanggung jawab secara perdata maupun pidana atas kebenarannya.
Persyaratan ini, meski dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, justru menimbulkan pertanyaan serius: Apakah negara sedang melindungi hak rakyat, atau justru mempersulit rakyat yang ingin mengukuhkan hak historisnya atas tanah yang telah mereka kuasai secara turun-temurun?
Kepastian Hukum atau Pemutusan Sejarah?
Kebijakan dalam PP 18/2021 secara formal menegakkan prinsip “tanah dikuasai oleh negara,” namun di lapangan, banyak tanah bekas hak barat sebenarnya telah lama dikuasai secara fisik oleh warga negara Indonesia dengan itikad baik.
Kondisi ini menimbulkan dilema: negara berhak mengatur ulang struktur agraria demi kepastian hukum, tetapi keadilan substantif bagi warga yang beriktikad baik tidak boleh diabaikan.
Apabila setiap bekas hak barat otomatis dinyatakan “tanah negara” tanpa mekanisme verifikasi historis yang memadai, maka kebijakan ini berpotensi menimbulkan penggusuran hak secara legal-formal, yang ironisnya justru dilakukan oleh negara dalam nama penertiban hukum.
Status tanah tersebut secara hukum kini diakui sebagai:
1. Tanah yang dikuasai langsung oleh negara, bukan tanah adat;
2. Tanah yang secara fisik dikuasai oleh individu atau keluarga;
3. Penguasaan yang dilakukan dengan itikad baik dan terbuka oleh pihak yang bersangkutan.
Maka, pertanyaannya menjadi tajam:
Apakah hukum agraria kita hari ini benar-benar menjadi instrumen keadilan sosial sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945, ataukah telah bergeser menjadi mekanisme administratif yang justru berpotensi memutus hak-hak rakyat kecil atas tanah warisan sejarah mereka sendiri?
Arthur Noija SH

















