Jakarta, Majalahjakarta.com – Hidup berumah tangga selalu diwarnai dengan berbagai dinamika. Ada saat bahagia, ada pula ujian yang datang silih berganti. Namun salah satu masalah yang sering muncul dan menggerogoti ketenangan keluarga adalah rasa kurang bersyukur. Ketika hati tak kunjung merasa cukup, maka rumah yang seharusnya menjadi tempat teduh justru bisa berubah menjadi sumber resah.
Kita sering mendengar keluhan pasangan yang membandingkan kondisi keluarga mereka dengan keluarga lain. Seorang suami yang merasa istrinya kurang perhatian dibandingkan istri sahabatnya. Seorang istri yang merasa suaminya tak setampan, sekaya, atau seromantis tetangga sebelah. Bahkan anak-anak pun bisa terjebak dalam pola pikir serupa: menganggap fasilitas rumah tangga mereka lebih rendah dari teman-temannya. Akibatnya, hati mudah gelisah, hubungan jadi renggang, dan kebahagiaan pun terasa menjauh.
Padahal, kunci untuk mengatasi hal itu sudah diajarkan oleh para ulama dan dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ, yaitu menanamkan sikap qanaah: merasa cukup dengan pemberian Allah. Qanaah bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan sikap hati yang menerima dengan lapang dada atas rezeki yang sudah digariskan, sembari tetap berusaha maksimal dengan cara yang halal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
﴿وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ﴾ (النحل: 18)
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa nikmat Allah tidak pernah terhitung jumlahnya. Namun manusia seringkali hanya melihat kekurangan, sehingga lupa betapa banyak nikmat yang sudah dikaruniakan.
Rasulullah ﷺ juga menegaskan dalam sebuah hadis riwayat Muslim:
«قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ»
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki secukupnya, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim, no. 1054)
Hadis ini menunjukkan bahwa keberuntungan sejati bukan diukur dari banyaknya harta, tetapi dari hati yang lapang menerima rezeki secukupnya. Karena hati yang tidak pernah merasa cukup akan terus gelisah, sekalipun harta melimpah.
Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata sebagaimana dinukil dalam Kitab Az-Zuhd (hlm. 79):
إنّ قوماً طَلَبُوا الغِنَى فحسِبُوا أنّهُ في جَمْعِ المالِ، ألا وإنّما الغِنَى في القَناعَة
“Sesungguhnya ada suatu kaum yang mencari kekayaan dan mereka menyangka kekayaan itu dengan mengumpulkan harta. Padahal kekayaan yang sesungguhnya itu ada dalam sifat qanaah (merasa cukup dengan pemberian Allah).”
Ungkapan ini menjadi penegas bahwa harta tak akan pernah memuaskan manusia. Ketika ia punya seratus, ia ingin seribu. Ketika ia punya seribu, ia ingin sejuta. Begitu terus hingga ajal menjemput. Tetapi hati yang qanaah akan merasakan kekayaan sejati, meskipun harta hanya sederhana.
Dalam konteks keluarga, qanaah memiliki peran yang sangat penting. Dengan qanaah, seorang istri bisa menerima keadaan suami apa adanya, tidak menuntut di luar kemampuan. Dengan qanaah, seorang suami bisa bersyukur atas kehadiran istri yang setia dan anak-anak yang menjadi penyejuk mata. Dengan qanaah, anak-anak belajar untuk tidak iri kepada teman-temannya yang lebih berada. Sikap ini membentuk atmosfer rumah tangga yang lebih harmonis dan penuh syukur.
Sayangnya, budaya modern sering menanamkan racun sebaliknya. Media sosial, iklan, dan gaya hidup konsumtif terus mendorong kita untuk membandingkan diri dengan orang lain. Rumah terasa sempit karena melihat istana orang lain. Kendaraan dianggap jelek karena melihat mobil mewah tetangga. Padahal, semua itu hanyalah fatamorgana yang tidak pernah membawa ketenangan hati.
Allah ﷻ mengingatkan dalam Al-Qur’an:
﴿وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ﴾ (طه: 131)
“Dan janganlah sekali-kali engkau tujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha: 131)
Ayat ini memberi peringatan agar kita tidak silau dengan perhiasan dunia. Sebab rezeki orang lain adalah ujian bagi mereka, sementara rezeki kita adalah amanah yang harus disyukuri.
Qanaah juga bukan berarti berhenti berusaha. Justru Islam mendorong umatnya untuk bekerja keras, mencari nafkah halal, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun bedanya, usaha itu dilakukan dengan hati yang tenang, tanpa diperbudak ambisi dunia. Rasulullah ﷺ sendiri adalah teladan dalam bekerja keras, tetapi beliau tetap hidup sederhana, makan secukupnya, dan tidur di atas tikar kasar.
Dari sinilah kita memahami bahwa qanaah adalah obat bagi penyakit hati. Ia mendidik jiwa, menjauhkan iri, menenangkan batin, dan memperkuat cinta dalam keluarga. Rumah yang dihuni oleh orang-orang qanaah akan dipenuhi doa, syukur, dan kasih sayang. Setiap hidangan sederhana terasa nikmat, setiap pakaian sederhana terasa indah, dan setiap kebersamaan terasa mahal harganya.
Mari kita renungkan sejenak. Sudahkah kita mensyukuri pasangan kita hari ini? Sudahkah kita berterima kasih atas anak-anak yang kita miliki, meski mereka tak sempurna? Sudahkah kita menyadari bahwa rumah kecil kita jauh lebih bermakna daripada istana megah yang kosong dari kebahagiaan?
Allah ﷻ menegaskan dalam firman-Nya:
﴿لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ﴾ (إبراهيم: 7)
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Ayat ini adalah janji sekaligus peringatan. Syukur mendatangkan tambahan nikmat, sementara kufur nikmat hanya akan mengundang kesempitan. Maka, tidak ada cara lain untuk menjaga ketenangan keluarga selain dengan menanamkan qanaah dalam hati.
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang senantiasa bersyukur dan merasa cukup. Semoga rumah tangga kita dipenuhi sakinah, mawaddah, dan rahmah, bukan karena kemewahan, melainkan karena keberkahan qanaah.
Dwi Taufan Hidayat

















