Jakarta, Majalahjakarta.com – Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tentang peluang penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi angin segar di tengah tantangan ekonomi global. Gagasan ini menunjukkan keseimbangan antara keberanian fiskal dan empati sosial bahwa negara tidak hanya menghitung angka, tetapi juga memperhitungkan napas kehidupan rakyat di pasar-pasar kecil.
Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan sinyal bahwa tarif PPN berpotensi turun dari 11%, publik menangkap pesan yang jauh lebih besar dari sekadar perubahan angka pajak. Dalam konferensi pers yang dikutip oleh detikFinance, Senin, 14 Oktober 2025, Purbaya menyampaikan bahwa penurunan tersebut bisa dilakukan bila kondisi perekonomian dan penerimaan negara menunjukkan hasil yang sangat baik pada penutupan tahun ini. Sebuah kalimat sederhana, tapi sarat makna: kebijakan fiskal tidak kaku, melainkan adaptif terhadap denyut kehidupan masyarakat.
Pernyataan ini menunjukkan satu hal penting: pemerintah tidak sedang mengejar angka pertumbuhan semu, melainkan memperhatikan kesejahteraan riil rakyat. Dengan menimbang daya beli masyarakat, Purbaya seolah menegaskan bahwa kebijakan fiskal harus menjadi jembatan keseimbangan antara kebutuhan negara dan kemampuan rakyat. Dalam konteks ini, sinyal penurunan PPN adalah bentuk fiscal empathy keberanian untuk menyesuaikan kebijakan demi menciptakan ruang napas bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang selama ini paling terdampak fluktuasi harga.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebijakan fiskal yang cerdas selalu bergerak di antara dua kutub: menjaga stabilitas penerimaan negara dan memastikan kesejahteraan publik tidak tergerus. Purbaya memahami bahwa PPN adalah pajak konsumsi yang langsung dirasakan oleh rakyat, sehingga penurunan tarif sekecil apa pun dapat berdampak signifikan terhadap daya beli. Bila tarif ini turun, harga barang akan terkoreksi turun, roda perdagangan akan berputar lebih cepat, dan konsumsi domestik motor utama ekonomi Indonesia akan semakin kuat. Seperti diungkapkan Kontan.co.id (14/10/2025), elastisitas konsumsi masyarakat Indonesia terhadap pajak sangat tinggi; setiap penurunan satu persen PPN bisa menambah daya beli hingga triliunan rupiah dalam setahun.
Namun yang menarik bukan sekadar wacana penurunan pajak, melainkan cara Purbaya memosisikan kebijakan ini dalam kerangka besar pembangunan ekonomi berkeadilan. Ia tidak ingin sekadar “populis,” tetapi tetap berbasis data. “Kita akan lihat dulu hasil akhir penerimaan dan pertumbuhan ekonomi tahun ini. Kalau cukup kuat, kita bisa pertimbangkan penyesuaian tarif PPN,” ujar Purbaya seperti dikutip CNBC Indonesia (15/10/2025). Sikap ini menunjukkan kedewasaan fiskal—bahwa setiap keputusan ekonomi harus dilandasi kalkulasi matang, bukan tekanan opini.
Apresiasi patut diberikan karena di tengah kecenderungan global menaikkan pajak demi menambal defisit, Indonesia justru berani mempertimbangkan langkah sebaliknya: menurunkan pajak konsumsi. Ini bukan tindakan sembrono, melainkan langkah percaya diri dari pemerintah yang optimistis terhadap fundamental ekonomi nasional. Purbaya tampak ingin menegaskan bahwa pengelolaan fiskal bukan hanya tentang menambah kas negara, tetapi juga menjaga keseimbangan psikologis masyarakat. Di sinilah letak kecerdasan kebijakan: memahami bahwa stabilitas makro harus berdampingan dengan kebahagiaan mikro.
Langkah ini juga memperlihatkan sensitivitas sosial seorang menteri keuangan yang tidak hanya berurusan dengan tabel dan grafik. Ia melihat realitas di lapangan: harga bahan pokok yang fluktuatif, daya beli yang mulai menurun di sebagian daerah, dan beban hidup yang makin kompleks. Menurunkan tarif PPN, meski kecil, bisa menjadi pesan simbolik bahwa negara hadir untuk melindungi rakyat, bukan sekadar mengatur mereka. Dalam konteks ini, kebijakan fiskal menjadi bukan sekadar instrumen ekonomi, tapi juga komunikasi moral antara negara dan warganya.
Selain itu, gagasan Purbaya juga sejalan dengan prinsip counter-cyclical policy, yakni menggunakan kebijakan fiskal untuk menstimulasi ekonomi ketika daya beli masyarakat melemah. Pendekatan ini pernah sukses diterapkan di beberapa negara seperti Korea Selatan dan Jepang yang menurunkan pajak konsumsi untuk menggerakkan ekonomi domestik. Bila dilakukan dengan hati-hati, Indonesia pun bisa menikmati efek ganda: pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif sekaligus penerimaan pajak yang tetap terjaga karena meningkatnya volume transaksi.
Bila PPN diturunkan, maka pelaku usaha mikro dan kecil juga akan ikut menikmati dampaknya. Harga produk mereka menjadi lebih kompetitif, margin keuntungan meningkat, dan perputaran uang di pasar rakyat menjadi lebih cepat. Ini akan memperkuat fondasi ekonomi rakyat segmen yang selama ini menjadi tulang punggung PDB Indonesia. Dalam laporan Bisnis Indonesia (15/10/2025), sektor UMKM berkontribusi hingga 60% terhadap total PDB nasional. Kebijakan fiskal yang berpihak pada mereka berarti berpihak pada mayoritas rakyat.
Namun Purbaya tetap menegaskan bahwa keputusan ini tidak boleh gegabah. Ia menunggu data penerimaan negara hingga akhir tahun sebelum mengambil langkah konkret. Ini bukan bentuk keraguan, melainkan kehati-hatian strategis. Dalam fiskal, keberanian sejati bukan diukur dari kecepatan mengambil keputusan, melainkan dari kemampuan menahan diri sampai semua indikator benar-benar mendukung. Inilah bentuk kepemimpinan ekonomi yang matang berani berpihak pada rakyat, tetapi tetap menjaga disiplin fiskal.
Langkah ini sekaligus memperkuat pesan bahwa kementerian keuangan di bawah Purbaya ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap kebijakan pajak. Pajak bukan alat menekan rakyat, melainkan alat bersama untuk membangun negeri. Ketika tarifnya bisa naik dan turun sesuai kondisi ekonomi, publik akan melihat bahwa negara tidak buta data. Transparansi seperti ini menumbuhkan optimisme baru: bahwa pemerintah bukan entitas yang jauh, tetapi mitra rakyat dalam menjaga keseimbangan hidup.
Optimisme publik atas sinyal ini tampak jelas di media sosial dan pemberitaan ekonomi. Banyak ekonom menilai wacana penurunan tarif PPN akan menjadi momentum positif untuk mengerek konsumsi domestik yang sempat melambat pada kuartal sebelumnya. Seperti dikutip Tempo.co (15/10/2025), langkah ini dapat meningkatkan indeks kepercayaan konsumen sekaligus menurunkan inflasi jangka pendek. Sebuah kebijakan yang memberi manfaat ganda memulihkan kepercayaan dan menghidupkan ekonomi rakyat.
Pada akhirnya, gagasan Purbaya bukan hanya soal persentase pajak, tetapi soal arah kebijakan ekonomi yang berjiwa. Ia memahami bahwa ekonomi sejati tidak sekadar dihitung dari angka pertumbuhan, tapi dari senyum yang kembali muncul di wajah pedagang pasar, buruh, dan ibu rumah tangga. Jika kebijakan fiskal mampu membuat hidup mereka sedikit lebih lega, maka di situlah fungsi negara menemukan maknanya yang paling luhur.
Dwi Taufan Hidayat

















