Jakarta, Majalahjakarta.com – Dalam sidang perdana hari Senin (13/10/2025), pengamat Bonatua Silalahi menggugat ANRI melalui KIP agar membuka salinan ijazah Jokowi yang oleh ANRI diklaim “tak dikuasai”. Tapi lebih dari sekadar dokumen kampanye, sengketa ini menyibakkan luka lama birokrasi lemah, akuntabilitas kabur, dan hukum yang tampak jadi pilihan.
Majelis hakim Komisi Informasi Pusat (KIP) memulai persidangan gugatan Bonatua Silalahi terhadap Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), di mana ia menuntut keterbukaan atas salinan ijazah Presiden Jokowi untuk periode pencalonan 2014 dan 2019 (pernyataan majelis dalam sidang, 13/10/2025). Sidang perdana itu menjadi panggung dramatis: permohonan dibacakan, tanggapan ditagih, dan pertanyaan diajukan seolah tidak sekadar soal arsip, tetapi soal keberanian institusi publik menghadapi tuntutan transparansi. (SindoNews, 13/10/2025) (nasional.sindonews.com)
Bonatua, dalam argumennya, menyebut bahwa permintaan salinan itu bukan sekadar ingin membuka tabir publik, melainkan kebutuhan metodologis penelitian ilmiah (khususnya publikasi Scopus). Ia menegaskan bahwa dokumen primer, bukan fotokopi yang diserahkan KPU, dibutuhkan sebagai dasar verifikasi data riset. (iNews, 13/10/2025) (inews.id)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua majelis KIP, Syawaludin, mengonfrontasi pihak ANRI untuk menanggapi: “Apakah ada jawaban surat dari pemohon? Kalau tidak, mengapa?” Tanggapan tersebut menjadi daya tekan awal, bahwa lembaga publik harus bertanggung jawab saat ditagih. (rekaman sidang, 13/10/2025) (nasional.sindonews.com)
ANRI mengaku bahwa ia tidak menyimpan salinan ijazah Jokowi di arsipnya, klaim yang mengejutkan dalam konteks perannya sebagai lembaga kearsipan nasional. (SindoNews, 14/10/2025) (nasional.sindonews.com)
Hal ini memantik sorotan tajam: bukankah Undang Undang Kearsipan menempatkan ANRI sebagai pihak yang seharusnya memiliki arsip statis dokumen negara? (Suara.com, 14/10/2025) (suara.com)
Sisi lain dari perdebatan itu adalah kewajiban KPU. Bonatua menyatakan bahwa KPU sebagai pencipta arsip (melalui penerimaan ijazah saat pendaftaran) semestinya menyerahkan arsip statis tersebut ke ANRI berdasarkan UU No. 43 Tahun 2009 (Pasal 42 Ayat (1)). Menurutnya, KPU tidak memiliki fungsi penyimpanan jangka panjang dokumen negara. (Suara.com, 14/10/2025) (suara.com)
Dalam persidangan, Bonatua memperingatkan risiko nyata jika dokumen dijaga lembaga yang tak memiliki kapasitas kearsipan: “bisa dimakan rayap, bisa hilang.” (Suara.com, 14/10/2025) (suara.com)
Ia juga mengingatkan bahwa kegagalan institusi dalam mematuhi amanat hukum tidak tanpa konsekuensi, baik pihak yang menahan maupun pihak yang tak meminta bisa menghadapi sanksi pidana. (Suara.com, 14/10/2025) (suara.com)
Ketua majelis menantang argumen Bonatua: “Apa argumentasi anda bahwa ANRI menguasai informasi tersebut?” Pertanyaan itu menyodorkan bahwa gugatan ini diuji pada fondasi legalitas, bukan retorika. (SindoNews, 14/10/2025) (nasional.sindonews.com)
ANRI yang hadir, meski tidak memiliki dokumen tersebut, dihadapkan pada kontradiksi: sebagai penjaga arsip negara, ia justru menyatakan tidak menguasai informasi krusial tentang kepala negara terdahulu. (SindoNews, 14/10/2025) (nasional.sindonews.com)
Ketiadaan dokumen di ANRI membuka pertanyaan: apakah selama ini ANRI hanya simbol institusi, bukan praktik nyata pengarsipan negara?
Dari sisi publik, pengakuan bahwa ANRI tak punya salinan itu mengejutkan. (Suara.com, 14/10/2025) (suara.com)
Bagaimana mungkin sebuah ijazah yang menjadi bahan kontroversi publik tidak berada di arsip nasional? Kesalnya, kejutan ini datang dalam wujud kegagalan administratif, bukan skandal besar.
Sidang perdana itu tutup tanpa putusan, tapi makna simboliknya jelas: sebuah gugatan sederhana terhadap arsip telah membuka pusaran kritik terhadap sistem kelembagaan negara. Apakah negara ini serius terhadap transparansi, atau hanya memproduksi kertas kosong?
Catatan reflektif:
1. Sengketa arsip sebagai ujian institusi. Sengketa ini bukan sekadar soal ijazah seorang Presiden, melainkan soal kredibilitas struktur negara. Bila institusi utama penyimpan arsip negara sendiri mengaku tak punya, bagaimana publik bisa percaya pada sistem arsip negara?
2. Hukum yang diabaikan. UU Kearsipan menetapkan peran jelas bagi KPU dan ANRI. Tapi dalam kenyataannya, praktik bisa diabaikan tanpa konsekuensi langsung. Apalagi jika aparat hukum (penegak UU) enggan mengejar ketidakpatuhan lembaga negara.
3. Dokumen dan legitimasi politik. Ijazah Jokowi bukan sekadar riwayat pendidikan, melainkan simbol legitimasi. Ketika dokumen itu jadi objek sengketa terbuka, maka klaim keaslian, kejujuran, dan pertanggungjawaban politik ikut dipertaruhkan.
4. Publik sebagai pemaksa transparansi. Bonatua bertindak sebagai poros publik yang menekan institusi: jika negara tidak memberi, warga bisa menuntut lewat hukum. Inilah potensi demokrasi, tapi hanya sejauh media, aktivis, dan lembaga pemantau ikut menjaga momentum.
5. Simbol yang lebih kuat dari fakta. Istilah tak punya arsip menjadi lebih menohok ketimbang temuan besar. Simbol ini menyiratkan kegagalan negara dalam hal-hal dasar, bukan narasi dramatis, tetapi kepincangan administrasi yang menggerogoti kepercayaan publik.
Gugatan ini belum selesai. Tapi jika institusi-institusi negeri ini tetap membisu tanpa menjawab tuntutan hukum dan publik, maka apa yang dilemparkan ke meja persidangan tak hanya ijazah, melainkan pertanyaan paling tajam: siapa yang mengarsip masa depan bangsa? (Dwi TH)

















