Distorsi HPL-BLU dalam Hukum Publik dan Kematian Fungsi Pelayanan Publik

- Penulis

Selasa, 14 Oktober 2025 - 21:27

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT), organisasi yang konsen dalam advokasi kebijakan publik, menyoroti kembali problem klasik dalam tata kelola hukum agraria: makna dan praktik Hak Pengelolaan (HPL) di tengah sistem pelayanan publik modern.

Dalam hukum publik, HPL (Hak Pengelolaan) didefinisikan sebagai bentuk hak menguasai dari negara yang pelaksanaan kewenangannya sebagian dilimpahkan kepada badan hukum atau instansi pemerintah untuk mengelola tanah negara. Namun dalam praktik, pelimpahan itu seringkali menimbulkan ambiguitas antara “menguasai” dan “memiliki”, yang berdampak langsung pada kepastian hukum masyarakat, dunia usaha, dan tata ruang kota.

Sementara itu, BLU (Badan Layanan Umum) hadir sebagai model kelembagaan negara yang bertujuan memberikan layanan publik di sektor pendidikan, kesehatan, dan administrasi tanpa orientasi laba. BLU bersifat non-dagang dan relatif independen, dengan prinsip pengelolaan yang fleksibel dan efisien dalam mengelola anggaran publik.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, di titik pertemuan antara HPL dan BLU, muncul pertanyaan mendasar:
apakah status penguasaan tanah oleh BLU yang berlandaskan HPL masih sejalan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 – bahwa bumi, air, dan kekayaan alam harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat?

PPNT menilai bahwa di beberapa kasus, HPL yang dikelola BLU atau BUMN justru menjauh dari prinsip keadilan sosial. Banyak tanah negara yang semestinya menjadi ruang publik, berubah menjadi kawasan komersial terselubung dengan alasan “optimalisasi aset”. Padahal, secara filosofis, HPL bukanlah hak untuk memperjualbelikan, melainkan hak untuk mengelola dalam kerangka mandat publik.

Data dari Kementerian ATR/BPN menunjukkan bahwa hingga 2024, terdapat lebih dari 3.200 bidang tanah berstatus HPL yang dikelola oleh lembaga negara dan pemerintah daerah, dengan sebagian besar terkonsentrasi di wilayah perkotaan strategis seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Sayangnya, hanya sekitar 18% yang benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan layanan publik langsung seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur sosial.

Kesenjangan antara mandat hukum dan praktik lapangan ini memperlihatkan adanya defisit tata kelola agraria publik. Ketika BLU atau badan pengelola diberi keleluasaan mengelola aset negara tanpa pengawasan publik yang memadai, maka lahirlah bentuk baru dari “privatisasi halus” atas tanah negara-dibungkus dengan dalih efisiensi dan kemandirian fiskal.

HPL: Ketika Negara Menguasai tapi Rakyat Tak Memiliki
Di atas kertas, Hak Pengelolaan (HPL) tampak sebagai instrumen hukum yang elegan: negara tetap memegang kendali atas tanah, sementara badan-badan tertentu diberi kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkannya bagi kepentingan umum. Namun di lapangan, “hak mengelola” ini sering kali menjelma menjadi hak menguasai yang menjauh dari rakyat – bahkan kadang menjadi sarana baru untuk monopoli aset publik oleh lembaga negara dan korporasi pelat merah.

Secara normatif, HPL merupakan perpanjangan tangan dari hak menguasai negara, di mana sebagian kewenangan pengelolaan tanah dilimpahkan kepada badan hukum atau instansi pemerintah, seperti BUMN, BUMD, maupun badan otorita kawasan. Tujuannya jelas: agar tanah negara dapat dimanfaatkan secara produktif, teratur, dan berkeadilan sosial.

Namun, ironi muncul ketika tanah yang dikuasai atas nama publik justru dikelola dengan logika privat. Banyak kawasan HPL yang seharusnya menjadi ruang sosial-sekolah, fasilitas kesehatan, atau permukiman rakyat-malah bertransformasi menjadi kawasan komersial, apartemen, hingga proyek mixed-use yang hanya bisa diakses kelas menengah ke atas.

Data Kementerian ATR/BPN (2024) mencatat, terdapat lebih dari 3.000 bidang tanah berstatus HPL di seluruh Indonesia, dengan 70 persen dikuasai oleh BUMN dan BUMD. Ironisnya, hanya kurang dari 20 persen di antaranya yang benar-benar digunakan untuk kepentingan publik langsung. Sisanya berubah menjadi aset komersial, atau bahkan “tertidur” tanpa pemanfaatan jelas.

Fenomena ini menunjukkan bahwa HPL sedang mengalami distorsi makna. Hukum menegaskan bahwa HPL bukanlah hak milik, melainkan hak menguasai yang bersumber dari negara. Artinya, badan atau instansi pemegang HPL tidak boleh memperlakukan tanah itu seolah aset pribadi, apalagi memperjualbelikannya kepada pihak ketiga. Namun faktanya, di sejumlah kasus, HPL dijadikan jaminan utang, objek investasi, bahkan komoditas politik.

Kita sedang menyaksikan paradoks hukum agraria: ketika negara berperan sebagai penguasa tanah, tetapi kehilangan peran sebagai pelindung kepentingan rakyat. Padahal, dalam amanat Pasal 33 UUD 1945, penguasaan negara seharusnya dimaknai sebagai bentuk pengelolaan yang mewakili kedaulatan rakyat, bukan sekadar kontrol administratif atas lahan strategis.

Baca Juga:  Kalapas Banda Aceh Tinjau Pembenahan Ruang Isolasi TB Warga Binaan

Dari perspektif kebijakan publik, pengaturan HPL juga memperlihatkan celah akuntabilitas. Penetapan, pemanfaatan, dan pengalihan hak atas tanah HPL kerap dilakukan tanpa mekanisme public disclosure yang memadai. Artinya, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tidak pernah benar-benar tahu untuk apa tanah negara itu digunakan.

Dalam konteks ini, HPL bukan sekadar instrumen hukum agraria, tetapi juga cermin dari politik penguasaan sumber daya. Ketika dikelola tanpa transparansi, ia berubah menjadi alat reproduksi ketimpangan- di mana negara menjadi “tuan tanah baru” dan rakyat hanya penonton.

BLU: Antara Layanan Publik dan Logika Pasar Negara
Dalam lanskap birokrasi modern, Badan Layanan Umum (BLU) sering disebut sebagai wajah baru efisiensi negara. Ia tidak sekaku lembaga pemerintahan, tidak sekomersial korporasi, dan diklaim mampu melayani publik dengan prinsip “bisnis, tapi bukan untuk bisnis.” Namun, di balik jargon efisiensi itu, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah BLU masih menjalankan mandat konstitusional negara sebagai pelayan rakyat, atau justru sedang bergerak menjadi “pasar baru” di bawah bendera publik?

Secara definisi hukum, BLU adalah badan pemerintah yang menyediakan layanan publik tanpa tujuan mencari laba, mencakup rumah sakit, universitas, lembaga riset, hingga dinas pelayanan administratif. Mereka beroperasi dengan kemandirian operasional, namun tetap dalam pengawasan pemerintah pusat atau daerah. Artinya, BLU memiliki dua wajah: tangan negara yang bekerja, sekaligus entitas semi-otonom yang mengelola keuangan publik secara fleksibel.

Kemandirian ini memberikan ruang bagi BLU untuk memungut biaya jasa layanan, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, bahkan mengembangkan aset untuk menunjang pelayanan publik. Secara teoritis, hal ini dimaksudkan untuk menciptakan pemerintahan yang responsif, efisien, dan tidak bergantung penuh pada APBN/APBD. Namun dalam praktiknya, kemandirian itu kadang berubah arah menjadi komersialisasi halus atas layanan publik.

Data Kementerian Keuangan (2024) menunjukkan terdapat 267 instansi pemerintah berstatus BLU, dengan pendapatan layanan mencapai Rp162 triliun pada tahun anggaran terakhir. Angka ini memang mengesankan dari sisi efisiensi fiskal, tetapi di sisi lain memunculkan dilema etis: sejauh mana publik membayar dua kali untuk layanan yang semestinya dijamin negara?

Ambil contoh sektor pendidikan tinggi dan kesehatan. Banyak universitas BLU kini beroperasi dengan pola mirip korporasi: menaikkan biaya kuliah, membuka program premium, hingga menggandeng swasta untuk pembangunan fasilitas. Begitu pula rumah sakit BLU, yang sering kali menyeimbangkan misi pelayanan sosial dengan target penerimaan mandiri. Dalam istilah lain, “layanan publik” berubah menjadi “produk publik.

Dari perspektif hukum dan kebijakan publik, posisi BLU ini menarik. Ia bukan lembaga bisnis, tapi juga bukan sepenuhnya lembaga negara dalam arti klasik. Dalam PP No. 23 Tahun 2005 jo. PP No. 74 Tahun 2012, BLU diberikan fleksibilitas keuangan untuk “mengoptimalkan pelayanan.” Namun tanpa mekanisme akuntabilitas sosial yang kuat, fleksibilitas ini bisa bergeser menjadi celah akuntabilitas, bahkan privatisasi terselubung dalam tubuh birokrasi.

Fenomena BLU juga berpotongan langsung dengan sektor agraria dan aset publik. Banyak BLU, terutama di bidang pendidikan dan riset, memegang Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah negara. Dalam sejumlah kasus, tanah tersebut dikomersialisasi melalui kerja sama pihak ketiga, pembangunan komersial, atau penyewaan jangka panjang. Jika HPL seharusnya untuk mengelola, maka dalam praktiknya BLU justru mengontrakkan hak itu kepada pasar.

Kondisi ini menimbulkan paradoks hukum: negara tetap “menguasai,” tapi masyarakat makin “membayar.” Konsep pelayanan publik yang seharusnya berbasis hak sosial, kini bertransformasi menjadi mekanisme ekonomi-di mana rakyat menjadi pelanggan, bukan warga negara yang berhak dilayani.

Sebagai lembaga yang mengelola keuangan publik dan tanah negara, BLU seharusnya menegakkan tiga prinsip utama hukum publik: transparansi, akuntabilitas, dan aksesibilitas. Ketiganya bukan sekadar formalitas administratif, melainkan roh konstitusional yang membedakan negara kesejahteraan dari negara pasar.

Sudah saatnya publik menuntut keterbukaan kinerja BLU: berapa besar pendapatan non-APBN yang diperoleh, bagaimana dana itu digunakan, dan sejauh mana ia kembali pada masyarakat. BLU yang ideal bukanlah lembaga yang berkompetisi dengan sektor privat, melainkan yang memperluas jangkauan negara untuk melayani, bukan menjual.

Jika BLU terus dibiarkan mengikuti logika pasar tanpa pengawasan publik, maka kita sedang menciptakan ironi baru dalam sistem hukum agraria dan pelayanan publik: negara tetap berwibawa, tapi kehilangan jiwa pelayanan.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Berita ini 15 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x