Dana Reses dan Dongeng Turun ke Dapil

- Penulis

Selasa, 14 Oktober 2025 - 19:51

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika rakyat disuruh mengencangkan ikat pinggang, anggota DPR justru menambah lubang pada anggaran. Dana reses naik dari Rp400 juta menjadi Rp702 juta per orang (Gelora News, 11 Oktober 2025). Alasan resmi: “jumlah kunjungan dapil bertambah.” Tapi rakyat menatap getir karena yang bertambah justru foto kegiatan dan tanda tangan yang mirip hasil tukang stempel.

Di republik ini, reses seolah punya dua arti. Di kamus DPR, ia berarti masa ketika para wakil rakyat “turun ke daerah pemilihan” untuk menyerap aspirasi rakyat. Tapi di kamus rakyat, reses berarti masa ketika uang negara diserap oleh para wakil rakyat tanpa harus benar-benar turun ke mana pun.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan bahwa kenaikan dana reses disebabkan oleh “penambahan jumlah kunjungan dapil.” Secara teoritis, itu masuk akal. Namun di lapangan, bukti fisik dari kunjungan itu sulit ditemukan. Yang tampak justru spanduk dan foto kegiatan yang tampak disalin dari acara lain.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Konon, sebagian laporan kegiatan hanya memerlukan tiga hal: template, tukang stempel, dan aplikasi pengedit foto. Sisanya hanyalah imajinasi. Peserta rapat ditulis lengkap, tanda tangan dipalsukan, dokumentasi meminjam gambar dari kegiatan RT sebelah. “Cair-cairrr,” begitu kata rakyat yang sudah terlalu sering jadi objek administrasi semu.

Kenaikan dana ini ironis, sebab terjadi di tengah seruan pemerintah untuk berhemat dan memprioritaskan kesejahteraan rakyat kecil. Tapi di sisi lain, anggota DPR tampak sedang menikmati versi “luxury edition” dari reses. Jika rakyat disuruh tighten their belts, para wakilnya justru living their best life sebuah paradoks klasik dari panggung politik Jakarta.

Tentu, tak adil jika semua anggota DPR digeneralisasi. Ada juga yang benar-benar turun ke dapil, menyapa warga, menyalami petani, dan membantu renovasi fasilitas publik. Seperti rumah bibi penulis ini, yang direnovasi dari dana reses seorang anggota DPR. Di depannya terpampang plakat bertuliskan: “Program Reses Anggota DPR RI Partai Anu.” Tak ada hubungan keluarga, tak ada lobi, tak ada pamrih. Mungkin itu contoh langka bahwa dana rakyat bisa sampai ke rakyat tanpa kebocoran di tengah jalan.

Namun, kasus seperti itu ibarat menatap pelangi di musim kemarau indah, tapi jarang. Sebab pertanyaan besar tetap menggantung: siapa yang memverifikasi kegiatan reses itu? Bagaimana mekanisme auditnya? Dan kenapa laporan pertanggungjawaban dana reses tidak dibuka ke publik? Bukankah uang itu berasal dari pajak rakyat yang dipotong setiap bulan?

Baca Juga:  Aset Disita, Rakyat Terus Bertanya: Sampai Kapan Transparansi?

DPR sering kali membuat logika publik tampak rumit. Seolah ketika rakyat menuntut transparansi, mereka dianggap tidak paham tata kelola negara. Padahal, yang rakyat minta sederhana: jika benar turun ke dapil, tunjukkan buktinya. Unggah laporan kegiatan di laman resmi DPR, sertakan foto asli, nama peserta yang bisa diverifikasi, dan sisa anggaran yang dikembalikan ke kas negara.

Ironinya, yang sering diturunkan justru bukan anggota DPR-nya, melainkan surat perintah pencairan dana. Di atas kertas, kegiatan terselenggara. Di lapangan, hanya rumput yang menjadi saksi bisu.

Fenomena ini menjadi potret klasik dari “representasi tanpa kehadiran.” Rakyat diwakili, tapi tak pernah benar-benar dikunjungi. Aspirasi diklaim sudah diserap, tapi entah siapa yang menyuarakannya. Di banyak daerah, yang terserap hanyalah anggaran, bukan aspirasi.

Tak heran jika sinisme publik semakin tajam. Meme dan komik satir bertebaran di media sosial, menggambarkan bagaimana jarak antara wakil rakyat dan rakyat semakin lebar. Dalam salah satu komik viral, seorang guru bertanya kepada murid-muridnya:
“Kalau pesawat yang ditumpangi semua anggota DPR jatuh, berapa orang yang selamat?”
Dengan polos, para murid menjawab: “280 juta rakyat Indonesia, Bu.”

Jawaban itu lucu tapi di balik tawa, ada kemarahan yang disamarkan. Sebab, bagi banyak orang, DPR bukan lagi simbol aspirasi rakyat, melainkan lambang jarak sosial. Dan ketika kepercayaan sudah digantikan oleh candaan, berarti ada luka yang belum disembuhkan.

Dalam demokrasi yang sehat, dana publik harus bisa ditelusuri. Tapi di negeri ini, laporan keuangan sering kali lebih misterius daripada naskah kuno di museum. Tak ada yang tahu pasti ke mana anggaran mengalir setelah disetujui. Transparansi hanyalah jargon, bukan kewajiban moral.

Kita mungkin tak bisa mengubah semuanya sekaligus. Tapi publik berhak menuntut: laporkan hasil reses secara terbuka, buat portal publikasi, sertakan bukti visual, dan audit independen dari BPK yang bisa diakses siapa pun. Jika memang aspirasi rakyat menjadi alasan, maka rakyat juga berhak tahu ke mana perginya uang itu.

Sebab jika tidak, reses hanya akan menjadi eufemisme dari “liburan berbiaya negara.” Dan setiap kali rakyat membaca berita tentang kenaikan dana reses, mereka akan bertanya dalam hati: Ini reses atau rese?

Mungkin, di masa depan, rakyat tidak lagi butuh penjelasan panjang. Mereka hanya akan mengingat satu kalimat sederhana dari komik anak-anak itu bahwa kadang, keadilan sosial bagi seluruh rakyat justru terasa hadir ketika para wakil rakyat sedang… tidak hadir. (Dwi TH)

Berita Terkait

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus
Jakarta Jadi Kota Kedua Terbanyak Pembeli Jersey Persib
Berita ini 5 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x