Jakarta, Majalahjakarta.com – Gelombang kesadaran baru sedang tumbuh dari dermaga-dermaga republik. Di antara suara derek baja dan desing mesin bongkar muat, muncul suara lain-lebih lirih, tapi jauh lebih dalam: suara buruh pelabuhan yang menuntut hak belajar, hak bermimpi, dan hak diakui sebagai warga bangsa yang berdaulat atas ilmu.
Gerakan ini bukan sekadar orasi emosional. Ia adalah refleksi politik tentang keadilan sosial yang lama terabaikan dalam sistem pendidikan nasional. Serikat Pekerja TKBM Indonesia (SP TKBM Indonesia) meluncurkan inisiatif “Program Buruh Sekolah dan Buruh Sarjana”-sebuah gerakan pendidikan alternatif yang lahir dari rasa muak atas kesenjangan akses pengetahuan di negeri yang katanya menjunjung “pemerataan”.
“Kami tidak meminta belas kasihan. Kami menuntut keadilan. Dana Abadi Pendidikan sudah menumpuk ratusan triliun, tapi buruh pelabuhan tetap terpinggirkan. Kami hanya ingin ikut mencerdaskan bangsa, sesuai amanat konstitusi,”
– Subhan Hadil, Ketua Umum SP TKBM Indonesia. (14/10)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dana Abadi Pendidikan: Gunung Emas yang Tak Menetes ke Dermaga
Menurut data pemerintah, Dana Abadi Pendidikan kini mencapai lebih dari Rp146 triliun, ditambah program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan LPDP yang setiap tahun mengalir puluhan triliun rupiah. Namun di pelabuhan-jantung logistik nasional-tak ada yang menetes.
Buruh yang siang malam menggerakkan roda ekonomi bangsa masih berjuang menyekolahkan anaknya. Di sisi lain, negara sibuk menggelar seminar tentang “transformasi digital pendidikan” di hotel berbintang. Ironi pendidikan kita seolah sedang dipertontonkan tanpa malu.
“Banyak anak buruh yang berhenti sekolah karena biaya, sementara dana pendidikan mengendap di meja birokrat. Ini bukan kekurangan anggaran, tapi kekosongan nurani,” kata Subhan.
Kampus Rakyat: Dari Gelanggang Bongkar Muat ke Ruang Kuliah
SP TKBM Indonesia tak menunggu belas kasihan. Mereka membangun Kampus Rakyat Buruh Pelabuhan—model pendidikan alternatif berbasis solidaritas:
Paket A, B, dan C bagi buruh yang belum menamatkan pendidikan dasar.
Program Sarjana Gratis bagi buruh dan anak buruh melalui kerja sama dengan universitas terbuka dan mitra pendidikan nasional.
Pelatihan vokasi dan sertifikasi kerja yang relevan dengan industri pelabuhan dan logistik.
Gerakan ini dikelola secara mandiri, transparan, dan gotong royong. Di sinilah lahir wajah baru buruh Indonesia-bukan sekadar pekerja otot, tapi juga penggerak ilmu dan martabat sosial.
Tuntutan ke Negara: Pendidikan untuk Semua, Bukan untuk Segelintir
SP TKBM Indonesia menyerukan kepada Presiden dan pemerintah untuk melakukan langkah korektif:
1. Evaluasi total Dana Abadi Pendidikan, LPDP, dan KIP, agar berpihak pada kelompok pekerja dan masyarakat akar rumput.
2. Bentuk Program Nasional “Buruh Sekolah dan Buruh Sarjana” guna menjamin akses pendidikan gratis bagi pekerja informal dan keluarganya.
3. Dorong kolaborasi negara–kampus–industri dalam program pemberdayaan pendidikan buruh.
“Kami siap belajar dan membangun negeri dari pelabuhan. Tapi bila negara terus menutup mata, kami akan datang ke istana—bukan untuk menggugat, tapi untuk mengembalikan nurani kebangsaan yang hilang,” tegas Subhan.
Gerakan Moral dari Dermaga untuk Republik
Gerakan buruh pelabuhan kini meluas menjadi seruan moral nasional. Mereka mengajak:
Mahasiswa dan akademisi untuk ikut mendukung gerakan pendidikan akar rumput.
Serikat pekerja lintas sektor untuk bersatu memperjuangkan hak belajar bersama.
Masyarakat sipil dan media untuk menyorot ketimpangan akses pendidikan secara lebih kritis.
Bagi buruh pelabuhan, perjuangan ini bukan hanya soal ijazah. Ini soal martabat bangsa yang diukur dari siapa yang berhak atas ilmu-dan siapa yang dibiarkan buta huruf di bawah bayang-bayang derek pelabuhan.
“Kami Datang Bukan dengan Amarah, Tapi dengan Buku dan Pena”
Di banyak pelabuhan kini tumbuh ruang-ruang belajar kecil, tenda literasi, dan kelas malam di antara kontainer. Itulah wajah baru perlawanan: perlawanan berbasis pengetahuan.
“Kami akan datang ke istana bukan dengan amarah, tapi dengan buku dan pena. Kami ingin menunjukkan bahwa buruh juga bisa berpikir, menulis, dan memimpin masa depan bangsa,” tutup Subhan dengan nada tegas namun lembut.(Red)

















