Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal-organisasi yang konsisten mengawal advokasi kebijakan publik-menyoroti pentingnya edukasi hukum terkait Hak Pengelolaan (HPL) sebagai bagian dari sistem hukum agraria nasional.
Secara yuridis, HPL merupakan perpanjangan tangan dari hak menguasai negara atas tanah, di mana sebagian kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang hak untuk mengelola, merencanakan, serta memanfaatkan tanah tersebut bagi kepentingan umum maupun pembangunan tertentu. Namun, perlu ditegaskan bahwa HPL tidak identik dengan hak kepemilikan, melainkan sebatas mandat pengelolaan yang diberikan negara.
Di sisi lain, di mata publik, konsep HPL kerap menimbulkan tafsir keliru. Banyak yang menganggap HPL sebagai bentuk kepemilikan terselubung atau bahkan sebagai “tanah negara” yang bisa dikuasai pihak tertentu tanpa batas. Padahal, menurut hukum, HPL bukan instrumen kepemilikan pribadi, melainkan mekanisme administratif untuk mengatur tata guna dan pemanfaatan tanah negara secara lebih efisien.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebingungan publik ini tidak sepenuhnya salah. Kurangnya sosialisasi, tumpang tindih regulasi, dan praktik birokrasi yang sering kali tidak transparan membuat HPL tampak sebagai “wilayah abu-abu” antara tanah negara dan tanah hak. Akibatnya, muncul persepsi bahwa HPL adalah bentuk penguasaan tanpa kejelasan status, terutama ketika tanah HPL dialihkan melalui kerja sama bisnis atau proyek pembangunan yang minim akuntabilitas.
Dalam konteks kebijakan publik, pemerintah seharusnya tidak hanya berhenti pada aspek normatif, tetapi juga membuka ruang dialog publik untuk menafsir ulang fungsi HPL secara lebih demokratis dan berkeadilan. Edukasi hukum kepada masyarakat menjadi krusial agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat berujung pada konflik agraria berkepanjangan.
HPL: Antara Hak Menguasai Negara dan Persepsi Publik yang Samar
Dalam sistem hukum pertanahan nasional, Hak Pengelolaan (HPL) menempati posisi yang unik. Ia bukan hak milik pribadi, bukan pula sekadar izin pakai, melainkan bentuk penguasaan negara atas tanah yang pelaksanaannya didelegasikan kepada pihak tertentu-baik instansi pemerintah, badan hukum, maupun lembaga yang diberikan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
HPL di Mata Hukum Pertanahan
Secara normatif, HPL berakar pada prinsip “hak menguasai dari negara” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Negara memegang kendali tertinggi atas bumi, air, dan ruang angkasa, dengan wewenang untuk mengatur dan mengelola penggunaannya bagi kemakmuran rakyat. Dalam konteks itu, HPL menjadi instrumen kebijakan yang memungkinkan negara menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaan kepada pihak lain tanpa mengalihkan kepemilikan.
Namun, berbeda dengan Hak Milik, tanah berstatus HPL tidak dapat diperjualbelikan secara langsung. Artinya, yang berpindah bukanlah tanahnya, melainkan hak-hak turunan yang berdiri di atasnya-seperti Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai. Dengan demikian, tanah HPL bersifat administratif, bukan komersial, kecuali dilakukan sesuai prosedur hukum yang ketat.
Dalam kondisi tertentu, HPL dapat beralih atau dipecah. Misalnya, melalui pelepasan hak untuk kepentingan umum, atau pembentukan Hak Milik di atas sebagian area HPL dengan persetujuan negara. Di atas HPL juga dapat diberikan berbagai hak lain (seperti HGB atau Hak Pakai) sesuai dengan kebutuhan dan jangka waktu tertentu. Fleksibilitas inilah yang membuat HPL berfungsi sebagai “wadah hukum” bagi berbagai bentuk pengelolaan tanah negara, terutama dalam proyek pembangunan dan investasi.
HPL di Mata Publik
Sayangnya, di mata publik, HPL masih menjadi istilah yang asing dan membingungkan. Masyarakat jauh lebih akrab dengan konsep seperti Hak Milik, yang terasa konkret karena berhubungan langsung dengan kepemilikan pribadi. Sementara itu, HPL dianggap sebagai tanah “tak bertuan”-statusnya menggantung antara tanah negara dan tanah pribadi.
Kesalahpahaman ini tidak sepenuhnya salah arah. Kurangnya sosialisasi dan tumpang tindih regulasi membuat publik sulit membedakan antara hak menguasai (seperti HPL) dan hak menggunakan (seperti HGB). Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang mengira bahwa HPL adalah hak untuk memiliki, padahal sejatinya HPL hanya memberi kewenangan untuk mengelola.
Lebih jauh lagi, potensi penyalahgunaan HPL oleh pihak swasta pernah menjadi isu publik. Ada kasus di mana badan hukum menerima pengelolaan HPL namun kemudian menggunakannya untuk kepentingan komersial tanpa izin atau melanggar perjanjian dengan negara. Akibatnya, tanah tersebut harus dikembalikan ke negara dan menjadi sorotan hukum.
HPL Adalah Hak Pengelolaan: Antara Legalitas Negara dan Pemahaman Publik
Tanah bukan sekadar hamparan bumi tempat berpijak, tetapi juga sumber kehidupan dan kesejahteraan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam konteks sosial-ekonomi, tanah adalah modal utama bagi rakyat-baik sebagai lahan pertanian, tempat tinggal, maupun ruang pembangunan. Karena itulah, legalitas tanah menjadi hal yang sangat penting untuk dipahami publik, agar hak dan kewajiban atas penguasaannya tidak menimbulkan sengketa atau kesalahpahaman.
Dari sekian banyak jenis hak atas tanah yang diakui dalam sistem hukum Indonesia, terdapat satu jenis hak yang sering kali terdengar asing di telinga masyarakat awam: Hak Pengelolaan (HPL). Meskipun penggunaannya masif di berbagai wilayah-terutama oleh instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan lembaga publik-pemahaman masyarakat tentang status dan fungsi HPL masih sangat terbatas.
Hak Pengelolaan (HPL) di Mata Hukum
Secara hukum, HPL merupakan perwujudan dari hak menguasai negara atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Dalam hal ini, negara memiliki wewenang untuk mengatur, mengelola, dan menentukan peruntukan tanah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Melalui HPL, sebagian kewenangan tersebut dilimpahkan kepada pihak tertentu-baik lembaga negara, pemerintah daerah, badan hukum publik, maupun badan usaha-untuk mengelola dan memanfaatkan tanah negara sesuai fungsi dan kepentingannya. Dengan kata lain, HPL bukan hak milik pribadi, melainkan bentuk mandat administratif dari negara kepada pengelola agar tanah dapat dimanfaatkan secara produktif dan terarah.
HPL juga dapat berelasi dengan hak-hak lain di atasnya, seperti Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai. Artinya, tanah yang dikelola dengan HPL dapat digunakan untuk mendirikan bangunan atau kegiatan ekonomi melalui pemberian hak turunannya kepada pihak ketiga. Namun, status tanah induknya tetap milik negara.
Hak Atas Tanah dan Tujuan Pemanfaatannya
Dalam perspektif hukum pertanahan, hak atas tanah memberikan wewenang bagi seseorang atau badan hukum untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah sesuai peruntukan yang ditetapkan negara. Tujuannya terbagi dua:
1. Untuk diusahakan, seperti kegiatan pertanian, perkebunan, atau industri.
2. Untuk dibangun sesuatu, seperti perumahan, fasilitas publik, atau infrastruktur ekonomi.
Dengan demikian, hak atas tanah-termasuk HPL-tidak hanya bersifat legal formal, tetapi juga mengandung fungsi sosial. Tanah tidak boleh dibiarkan menganggur atau dimonopoli untuk kepentingan segelintir pihak. Di sinilah pentingnya pengawasan negara agar pemanfaatan HPL tidak keluar dari tujuan dasarnya: kesejahteraan rakyat.
Menelisik Hak Pengelolaan (HPL): Antara Kekosongan UUPA dan Realitas Kebijakan Agraria
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) merupakan tonggak utama dalam pembaruan hukum pertanahan nasional. Regulasi ini memperkenalkan sistem hak atas tanah yang menegaskan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dalam ketentuan UUPA, dikenal beberapa jenis hak atas tanah, antara lain Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai. Masing-masing hak memiliki fungsi dan karakteristik yang berbeda sesuai peruntukan dan subjek hukumnya. Namun, menariknya, dalam dinamika hukum agraria nasional, muncul pula satu jenis hak yang cukup penting tetapi tidak secara eksplisit diatur dalam UUPA, yakni Hak Pengelolaan (HPL).
HPL: Antara Ada dan Tiada dalam UUPA
Jika menelusuri teks UUPA secara cermat, tidak ditemukan satu pasal pun yang secara eksplisit menyebut istilah “Hak Pengelolaan” sebagai salah satu hak atas tanah. UUPA hanya menyinggung konsep “pengelolaan” secara tersirat dalam Penjelasan Umum II angka 2, yang menjelaskan pelaksanaan hak menguasai dari negara.
Artinya, HPL bukanlah hak atas tanah yang lahir langsung dari UUPA, melainkan hasil interpretasi dan pengembangan kebijakan di bawah undang-undang. Keberadaan HPL baru memperoleh dasar yuridis melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Menguasai Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya.
Peraturan inilah yang pertama kali memperkenalkan istilah Hak Pengelolaan secara resmi. Gagasan utamanya sederhana: negara sebagai pemegang hak menguasai dapat melimpahkan sebagian kewenangan pengelolaan tanah kepada instansi atau badan hukum tertentu agar tanah negara dapat dimanfaatkan lebih efektif dan terarah.
Perkembangan Hukum dan Perluasan Subjek HPL
Seiring perjalanan waktu, kebijakan ini mengalami pembaruan melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Regulasi tersebut mempertegas siapa saja yang dapat diberikan HPL, yakni:
Instansi pemerintah pusat maupun daerah;
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
Perseroan Terbatas (PT) yang sahamnya dimiliki negara;
Badan otorita dan lembaga pemerintah lainnya yang secara khusus ditunjuk oleh pemerintah.
Dengan demikian, HPL menjadi instrumen hukum administratif yang memberi kewenangan kepada lembaga publik untuk mengelola, merencanakan, dan memanfaatkan tanah negara sesuai peruntukan kebijakan pembangunan.
Ciri-Ciri Hak Pengelolaan (HPL): Antara Fungsi Publik dan Potensi Penyimpangan
Dalam sistem hukum agraria nasional, Hak Pengelolaan (HPL) sering kali menjadi istilah yang terdengar formal, tetapi jarang benar-benar dipahami secara substantif oleh publik. Berbeda dengan Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, HPL justru tidak muncul sebagai “hak atas tanah” dalam pengertian klasik hukum agraria.
Menurut Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, HPL merupakan bagian dari tanah negara yang pelaksanaan Hak Menguasai Negara (HMN)-nya dilimpahkan kepada pemegang HPL. Dengan kata lain, HPL adalah bentuk delegasi kewenangan negara untuk mengelola, bukan hak kepemilikan yang melekat pada individu atau badan hukum secara pribadi.
HPL: Tersirat dalam UUPA, Nyata dalam Praktik
Meskipun UUPA tidak mengatur HPL secara eksplisit, keberadaan konsep ini dapat ditelusuri dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA yang menyebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai negara dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Frasa tersebut memberi ruang bagi negara untuk melimpahkan sebagian kewenangan pengelolaan tanah kepada pihak tertentu. Inilah akar filosofis dari lahirnya HPL. Maka, hakikat HPL bukanlah pecahan dari hak atas tanah, melainkan instrumen administratif untuk menjalankan fungsi publik negara dalam mengatur, mengurus, dan memanfaatkan tanah secara efektif.
Namun, dalam praktik modern, makna “fungsi publik” itu kerap bergeser. Banyak entitas pemegang HPL-terutama badan usaha milik negara dan badan otorita-yang menjalankan kewenangan tersebut layaknya pemilik tanah komersial. Akibatnya, HPL kehilangan rohnya sebagai alat pengaturan dan berubah menjadi alat penguasaan.
Ciri-Ciri HPL sebagai Hak Pengelolaan
Secara hukum, beberapa ciri khas yang membedakan HPL dengan hak atas tanah lainnya adalah sebagai berikut:
1. Tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijadikan jaminan utang.
Tanah berstatus HPL tidak bisa diperjualbelikan atau dijaminkan dengan Hak Tanggungan (HT) karena bukan hak milik. Namun, di atas tanah HPL dapat diberikan hak turunannya seperti Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP) melalui Surat Perjanjian Penggunaan Tanah (SPPT).
2. HGB/HP di atas HPL dapat dialihkan.
Pihak yang memperoleh HGB atau HP di atas tanah HPL dapat mengalihkan kepemilikannya atau menjadikannya agunan, tetapi harus mendapat persetujuan tertulis dari pemegang HPL. Artinya, otoritas pengelola tetap menjadi pihak dominan yang menentukan arah pemanfaatan tanah.
3. Subjek hukum HPL terbatas.
HPL hanya dapat diberikan kepada lembaga publik seperti instansi pemerintah, BUMN/BUMD, PT Persero, Badan Otorita, atau badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh pemerintah. Hal ini menegaskan bahwa HPL bersifat publik dan tidak bisa dimiliki oleh perseorangan.
Refleksi Akademik: HPL dan Krisis Fungsi Publik
Secara teoritis, HPL merupakan alat hukum untuk memperkuat peran negara dalam mengelola tanah demi kepentingan rakyat. Namun, dalam praktik kebijakan, fungsi publik HPL kerap tergerus oleh kepentingan ekonomi dan politik. Beberapa pemegang HPL justru menggunakan kewenangan tersebut untuk kepentingan bisnis, seperti menyewakan atau mengerjasamakan lahan kepada pihak swasta tanpa transparansi yang memadai.
Pengamat agraria Arthur Noija menilai, situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia memerlukan undang-undang khusus tentang Hak Pengelolaan, agar kedudukan HPL kembali pada fungsi semula-yakni sebagai kewenangan publik, bukan hak ekonomi. Selama HPL masih bertumpu pada peraturan menteri tanpa dasar hukum setingkat undang-undang, statusnya akan terus “mengambang” dan berpotensi disalahgunakan.
Tata Cara Pendaftaran Hak Pengelolaan (HPL): Antara Prosedur Administratif dan Tantangan Transparansi
Dalam sistem hukum agraria nasional, Hak Pengelolaan (HPL) menempati posisi strategis sebagai bentuk pelimpahan sebagian kewenangan negara kepada lembaga publik atau badan hukum tertentu untuk mengelola tanah negara. Namun, di balik prosedur administratifnya yang tampak formal, sering kali terdapat persoalan mendasar: apakah mekanisme pendaftaran HPL benar-benar menjamin transparansi, akuntabilitas, dan keadilan akses terhadap tanah negara?
Proses pendaftaran HPL tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga mencerminkan wajah kebijakan pertanahan kita – apakah masih elitis dan tertutup, atau sudah menuju sistem yang inklusif dan responsif terhadap kepentingan publik.
Prosedur dan Syarat Administratif Pendaftaran HPL
Mendaftarkan HPL harus melalui tata cara dan aturan yang ditetapkan pemerintah daerah sesuai wilayah administrasinya. Secara umum, tahapan dan persyaratan yang harus dipenuhi meliputi:
1. Surat permohonan bermaterai Rp10.000 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) provinsi setempat.
2. Identitas pemohon atau penanggung jawab yang sah.
3. Bagi WNI: fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
4. Bagi WNA: fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), VISA, atau Paspor.
5. Bagi badan usaha: fotokopi akta pendirian, surat keterangan domisili, dan NPWP badan hukum.
6. Jika dikuasakan: surat kuasa bermaterai Rp10.000 beserta fotokopi KTP penerima kuasa.
7. SPPT PBB tahun berjalan dan bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
8. Surat Petunjuk Pelaksanaan (SPP) atau Akta Jual Beli (fotokopi dilegalisasi notaris).
9. Foto lokasi tanah yang akan diajukan sebagai HPL.
10. Surat pernyataan bermaterai mengenai kesanggupan membayar, keabsahan dokumen, penguasaan fisik tanah, ketiadaan sengketa, serta pernyataan tidak akan menuntut pembayaran pemasukan yang telah dikeluarkan.
11. Ketetapan Rencana Kota (KRK) atau dokumen tata ruang dari pemerintah daerah yang relevan.
Secara administratif, daftar ini tampak rapi dan komprehensif. Namun dalam praktiknya, tidak jarang muncul kendala mulai dari tumpang tindih kewenangan antarinstansi, lamanya waktu pemrosesan, hingga dugaan praktik tidak transparan dalam penerbitan rekomendasi HPL.
Di Antara Regulasi dan Realitas
Dari sudut pandang kebijakan publik, tata cara pendaftaran HPL seharusnya menjadi mekanisme kontrol negara atas tanah publik, bukan sekadar rutinitas birokratis. Akan tetapi, dalam banyak kasus, pendaftaran HPL justru didominasi oleh badan usaha besar atau lembaga pemerintah tertentu, sementara masyarakat kecil sulit mengakses informasi maupun prosedurnya.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah prosedur pendaftaran HPL benar-benar mencerminkan prinsip keterbukaan dan keadilan sosial sebagaimana amanat UUPA 1960?
Atau justru menjadi celah hukum yang memungkinkan penguasaan tanah negara oleh kelompok-kelompok tertentu di bawah legitimasi “hak pengelolaan”?
Ketimpangan akses informasi dan keterlambatan digitalisasi data pertanahan memperkuat kesan bahwa sistem agraria kita masih berwatak administratif, belum substantif. Padahal, keberadaan HPL mestinya menjadi jembatan antara kepentingan negara dan kepentingan rakyat.
Wewenang Pemegang Hak Pengelolaan (HPL): Antara Kewenangan Publik dan Potensi Komersialisasi Tanah Negara
Secara normatif, pemegang HPL terbatas hanya pada badan hukum milik pemerintah, baik yang menjalankan fungsi pelayanan publik (seperti kementerian, lembaga pemerintah, dan pemerintah daerah), maupun yang bergerak di bidang usaha seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Artinya, entitas swasta murni-termasuk PT Persero dan korporasi komersial lainnya-tidak berhak menjadi subjek langsung pemegang HPL.
Keterbatasan ini dimaksudkan untuk menjaga agar HPL tetap menjadi instrumen kewenangan publik, bukan sarana komersialisasi tanah negara. Namun dalam praktiknya, justru di sinilah muncul dilema hukum dan kebijakan: ketika tanah negara yang dikelola BUMN/BUMD kemudian “diserahkan” kepada pihak ketiga dengan skema kerja sama, di titik itulah batas antara kepentingan publik dan privat mulai kabur.
Ruang Lingkup Wewenang Pemegang HPL
Merujuk pada Pasal 2 ayat (2) UUPA, wewenang yang diberikan kepada pemegang Hak Pengelolaan meliputi tiga hal pokok, yaitu:
1. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaannya.
2. Menggunakan tanah untuk pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga atau instansi yang bersangkutan.
3. Menyerahkan sebagian tanah kepada pihak ketiga melalui perjanjian yang mengatur peruntukan, penggunaan, jangka waktu, serta kompensasi yang disepakati, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga tetap harus melalui pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dari rumusan ini tampak bahwa HPL lebih berorientasi pada kewenangan publik ketimbang hak kepemilikan. HPL bukanlah hak untuk memiliki tanah, melainkan hak untuk mengatur, menggunakan, dan memanfaatkan tanah negara dalam batas yang diatur hukum.
Analisis Kritis: Pergeseran Makna dari Kewenangan ke “Hak”
Secara filosofis, istilah “pengelolaan” dalam UUPA sejatinya lebih tepat dipahami sebagai fungsi administratif atau kewenangan negara dalam mengatur penggunaan tanah. Namun, melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 dan perubahannya, konsep ini bergeser menjadi semacam hak atas tanah tersendiri yang dapat dilekati dengan hubungan hukum keperdataan.
Perubahan paradigma ini menimbulkan problem mendasar: apakah HPL masih berfungsi sebagai instrumen negara untuk mengatur kepentingan publik, atau justru telah menjadi instrumen ekonomi bagi entitas pemerintah dan BUMN untuk mengakumulasi aset dan keuntungan?
Dalam praktik di lapangan, banyak kasus menunjukkan bahwa HPL digunakan untuk kepentingan komersial-misalnya, pembangunan kawasan bisnis, properti, dan proyek investasi besar-yang kemudian disewakan atau diserahkan kepada pihak ketiga dengan nilai ekonomi tinggi. Akibatnya, semangat sosial UUPA untuk menciptakan keadilan agraria sering kali tereduksi oleh kepentingan ekonomi korporatis.
Refleksi Kebijakan: Menata Ulang Fungsi dan Batas Wewenang HPL
Saat ini diperlukan reformulasi kebijakan tentang HPL yang secara tegas mengembalikan fungsinya pada kewenangan publik, bukan hak ekonomi. Artinya, negara perlu meninjau kembali batas-batas kewenangan yang boleh dan tidak boleh dilakukan pemegang HPL, termasuk memperketat mekanisme kerja sama dengan pihak ketiga agar tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan tanah untuk kepentingan rakyat.
Kritik ini relevan mengingat tumpang tindih kewenangan antarinstansi, lemahnya pengawasan publik, dan tidak transparannya kerja sama pemanfaatan tanah negara sering menjadi sumber konflik agraria baru. Padahal, semangat utama HPL adalah menciptakan tata kelola pertanahan yang tertib, efisien, dan adil.
Dari Hak Pengelolaan ke Pengelolaan yang Berkeadilan
HPL semestinya bukan sekadar alat kontrol administratif, melainkan sarana untuk memastikan tanah negara digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.
Maka, tantangan terbesar ke depan bukan hanya bagaimana menertibkan regulasinya, tetapi bagaimana memastikan pelaksanaannya tidak terjebak pada logika korporatisasi tanah negara.
Sebab, ketika tanah yang seharusnya dikelola untuk publik berubah menjadi instrumen bisnis, maka makna “hak pengelolaan” kehilangan jiwanya: dari “hak untuk mengatur bagi rakyat” menjadi “hak untuk mengatur demi keuntungan.”
Arnoldus Alverando.Kale, S.H

















