Menjinakkan Pasar, Menguji Integritas Bursa Nasional

- Penulis

Minggu, 12 Oktober 2025 - 10:10

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meminta perilaku investor di pasar modal “dirapikan”, itu bukan sekadar imbauan biasa. Di balik kalimatnya yang ringan, tersimpan pesan tajam: pasar modal Indonesia terlalu lama hidup dalam euforia semu, bukan dalam disiplin ekonomi. Ia bicara bukan untuk menyenangkan investor besar, tapi untuk menguji seberapa sehat moral bursa yang selama ini dielu-elukan sebagai motor pertumbuhan.

Langkah Purbaya muncul seusai menghadiri Dialog Pelaku Pasar Modal Bersama Menteri Keuangan RI di Jakarta. Ia menegaskan bahwa insentif pajak tidak akan diberikan sebelum perilaku “goreng-menggoreng” saham dikendalikan. “Saya beri insentif kalau Anda sudah merapikan perilaku investor di pasar modal. Artinya goreng-gorengan dikendalikan, supaya investor kecil terlindungi, baru saya pikir insentifnya,” ujarnya. (Antara, 9 Oktober 2025)

Kalimat itu, meski sederhana, seolah menampar kesadaran kolektif. Di tengah jargon modernisasi pasar keuangan, masih ada ruang gelap tempat transaksi tidak wajar tumbuh subur. Menteri Keuangan baru ini memilih untuk tidak langsung menyiramnya dengan insentif, tapi menantang pelaku pasar untuk menegakkan moralitas investasi terlebih dahulu. Sebuah pesan yang terasa asing di telinga mereka yang terbiasa dengan politik lobi dan insentif instan.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun di balik sikap idealistik itu, tersimpan risiko politik yang besar. Dunia pasar modal dikenal sensitif terhadap sinyal kebijakan. Sedikit saja nada tegas dari Kemenkeu bisa memunculkan gelombang resistensi dari kelompok berkepentingan. Tapi justru di situ terlihat keberanian Purbaya ia tidak sedang mengejar popularitas, melainkan menantang struktur lama yang selama ini nyaman di zona abu-abu.

Dalam catatan ekonomi nasional, skandal “goreng saham” bukan isu baru. Dari kasus manipulasi harga hingga permainan bandar yang menggerus kepercayaan investor kecil, pola lamanya selalu sama: mereka yang punya modal besar bermain tanpa etika, sedangkan investor ritel hanya jadi korban. Purbaya mencoba membalik logika itu dengan menuntut tanggung jawab etis sebelum memberikan keringanan fiskal. Ia mengirim sinyal bahwa pasar bebas bukan berarti bebas dari tanggung jawab. (CNBC Indonesia, 10 Oktober 2025)

Kebijakan ini, meski terdengar keras, sebenarnya punya sisi humanistik. Di balik jargon “insentif pajak” dan “perilaku pasar”, tersimpan kepedulian pada keadilan ekonomi. Investor kecil yang selama ini tak punya posisi tawar diberi perlindungan melalui moralitas pasar. Dalam bahasa sederhana: menteri keuangan ini sedang mengingatkan bahwa ekonomi bukan hanya angka, tapi juga akhlak.

Namun, tentu saja, kebijakan seideal ini tak akan mudah berjalan di tengah ekosistem yang sudah lama terbiasa dengan kompromi. Banyak pihak di pasar modal mungkin akan menilai Purbaya terlalu “suci” untuk dunia yang penuh intrik. Tapi mungkin justru itu yang dibutuhkan: seorang menteri yang tak ikut menari di atas ritme lama. Dunia keuangan memerlukan kejujuran yang membosankan, bukan kelicikan yang memesona.

Baca Juga:  Direktur YLBH Fajar Trilaksana: Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Jadi Yurisprudensi

Meski begitu, kritik terhadap kebijakan ini tetap perlu dihadirkan bukan untuk melemahkan, tetapi untuk menajamkan arah. Pertama, tanpa kerangka regulasi yang jelas, imbauan “merapikan perilaku investor” bisa menjadi jargon moral tanpa gigi hukum. Pasar modal diatur oleh banyak lembaga, dari OJK hingga BEI, yang masing-masing punya ego dan kepentingan. Jika koordinasi antarinstansi lemah, gagasan Purbaya bisa teredam di meja birokrasi. (Kontan, 9 Oktober 2025)

Kedua, janji insentif perpajakan perlu disusun dengan hati-hati agar tidak justru menjadi jebakan baru. Jika tidak ada tolok ukur objektif tentang “perilaku sehat”, maka pengambilan keputusan akan bergantung pada interpretasi politis — dan di situlah risiko moral hazard mengintai. Sinisme publik bisa tumbuh jika insentif diberikan pada lembaga yang justru punya rekam jejak abu-abu.

Ketiga, sikap keras terhadap perilaku “goreng saham” harus diimbangi dengan literasi pasar bagi masyarakat luas. Sebab, dalam banyak kasus, investor kecil ikut terbawa arus spekulasi bukan karena rakus, tapi karena tidak paham. Edukasi publik akan menjadi pelindung terbaik dari manipulasi elit finansial. (Investor Daily, 8 Oktober 2025)

Namun, di atas semua itu, Purbaya sedang menulis babak baru dalam hubungan antara moral dan ekonomi. Ia menantang paradigma lama yang memisahkan dua hal itu. Ia mengirim pesan bahwa pasar yang sehat tidak dibangun dari algoritma semata, tetapi dari integritas. Dalam nada sinis, bisa dikatakan: di tangan menteri ini, kapitalisme diminta untuk belajar adab.

Mungkin sebagian pelaku pasar menganggap pernyataan itu terlalu idealistik, bahkan utopis. Tapi sejarah ekonomi dunia membuktikan: tanpa etika, pasar runtuh. Krisis 1998, 2008, hingga pandemi 2020 adalah pelajaran bahwa pasar bebas yang tanpa nilai akan memakan dirinya sendiri. Maka ketika Purbaya berbicara tentang moralitas investor, sesungguhnya ia sedang bicara tentang keberlanjutan bangsa.

Langkah Purbaya juga mencerminkan arah baru fiskal Indonesia yang lebih berani menegakkan akuntabilitas. Selama ini, insentif pajak sering diberikan tanpa indikator moral yang jelas. Kini, Menkeu mencoba membalik sistem itu: bukan siapa yang paling besar modalnya yang mendapat keringanan, tetapi siapa yang paling tertib dalam bertransaksi. (Bisnis Indonesia, 10 Oktober 2025)

Kebijakan seperti ini mungkin tidak populer di ruang bursa, tetapi sangat dibutuhkan dalam ruang publik. Ia menegaskan bahwa uang bukan lagi satu-satunya ukuran keberhasilan ekonomi. Ketika etika kembali ditempatkan di jantung kebijakan fiskal, kita mungkin sedang menyaksikan upaya pelurusan arah ekonomi yang sempat bengkok oleh keserakahan.

Pada akhirnya, kebijakan Purbaya adalah cermin: apakah pasar modal Indonesia siap berubah, atau masih ingin bersembunyi di balik jargon “efisiensi” sambil terus mempermainkan harga saham? Sebuah pertanyaan yang sinis tapi jujur, karena di ruang bursa, yang sering diperdagangkan bukan hanya saham tapi juga nurani.

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Pengadilan Kepercayaan: Hukuman di Tangkai Amanah?
Redenominasi Rupiah: Solusi Atau Bencana Tersembunyi
Pengelolaan Koperasi MTI Diduga Tidak Transparan, Sejumlah Aset Dipertanyakan Anggota
Ledakan di SMA 72 Jakarta: Alarm Keselamatan di Ruang Belajar
Jejak Kelabu di Balik Kilau CPO Nasional
Beton di Atas Nurani: Ketika Pembangunan Kota Menyingkirkan Warganya Sendiri
Sufmi Dasco Ahmad dan Dinamika Kepemimpinan Baru: Dari Parlemen ke Panggung Pilpres 2029
HAKAN Dorong Reformasi UU Kewarganegaraan: Perlindungan Hukum untuk Perkawinan Campuran dan Diaspora Indonesia
Berita ini 11 kali dibaca
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Sabtu, 8 November 2025 - 20:01

Pengadilan Kepercayaan: Hukuman di Tangkai Amanah?

Sabtu, 8 November 2025 - 19:51

Redenominasi Rupiah: Solusi Atau Bencana Tersembunyi

Sabtu, 8 November 2025 - 07:37

Pengelolaan Koperasi MTI Diduga Tidak Transparan, Sejumlah Aset Dipertanyakan Anggota

Sabtu, 8 November 2025 - 01:36

Ledakan di SMA 72 Jakarta: Alarm Keselamatan di Ruang Belajar

Jumat, 7 November 2025 - 18:33

Beton di Atas Nurani: Ketika Pembangunan Kota Menyingkirkan Warganya Sendiri

Jumat, 7 November 2025 - 17:36

LSM ELANG MAS Minta Kejari Asahan Usut Dugaan Korupsi di MIN 1 Asahan: Transparansi Dana Pendidikan Kembali Dipertanyakan

Jumat, 7 November 2025 - 17:06

Sufmi Dasco Ahmad dan Dinamika Kepemimpinan Baru: Dari Parlemen ke Panggung Pilpres 2029

Jumat, 7 November 2025 - 16:39

HAKAN Dorong Reformasi UU Kewarganegaraan: Perlindungan Hukum untuk Perkawinan Campuran dan Diaspora Indonesia

Berita Terbaru

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x