Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT), yang konsisten mengawal isu advokasi kebijakan publik, menyoroti fenomena influencer sebagai gejala sosial yang kian kompleks dalam lanskap hukum publik dan budaya digital Indonesia. Dalam pandangan PPNT, aktivitas influencer ketika memberikan review atas suatu produk tanpa sepengetahuan pelaku usaha, ibarat pisau bermata dua-tajam di kedua sisi, dan berpotensi melukai siapa pun yang abai pada etika serta tanggung jawab hukumnya.
Ketika ulasan yang diberikan bernada positif, produk yang direview bisa langsung meroket penjualannya. Namun, ketika opini yang disampaikan justru negatif-meski bersifat pribadi atau spontan-dampaknya bisa fatal: reputasi usaha runtuh dalam semalam, kepercayaan publik hilang, dan potensi kerugian ekonomi tak terhindarkan. Di sinilah paradoksnya: pengaruh yang besar tanpa kesadaran hukum dapat berubah menjadi bumerang sosial.
Secara sosiologis, influencer telah menjadi figur baru dalam struktur kekuasaan kultural masyarakat digital. Mereka tidak sekadar berbagi pengalaman, tetapi mengonstruksi makna dan selera publik melalui narasi personal yang dikemas seolah netral dan otentik. Namun, dalam pandangan hukum publik, posisi mereka jauh lebih rumit: influencer adalah aktor yang memiliki tanggung jawab hukum dan sosial, terutama ketika kontennya menimbulkan dampak ekonomi bagi pihak lain.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketika Influencer Menjadi Konsumen: Antara Review, Tanggung Jawab, dan Perlindungan Hukum
Dalam ruang digital yang semakin riuh oleh opini dan promosi, kehadiran influencer sering kali menjadi kompas baru bagi masyarakat dalam menentukan pilihan. Mereka mereview, menilai, dan mengulas berbagai produk – mulai dari kosmetik, makanan, hingga layanan finansial – seolah menjadi penghubung antara pasar dan publik. Secara konseptual, tujuan utama seorang influencer saat melakukan review adalah memberikan ulasan terhadap kondisi, kualitas, kelebihan, serta kekurangan suatu barang atau jasa berdasarkan pengalaman pribadinya.
Melalui tulisan, foto, atau video yang dibagikan di media sosial, influencer tidak hanya berbagi pengalaman, tetapi juga membangun kepercayaan sosial. Mereka menjelma menjadi “konsultan selera publik” yang dipercaya karena dianggap jujur, dekat, dan netral. Namun, pertanyaan mendasarnya – yang sering luput dari perdebatan publik – adalah:
apakah kegiatan me-review yang dilakukan oleh influencer dilindungi oleh hukum positif?
Jika merujuk pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dijelaskan bahwa:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Dari perspektif ini, influencer sejatinya juga termasuk dalam kategori konsumen, selama ulasan yang ia lakukan didasarkan pada pengalaman pribadi dan bukan atas kerja sama komersial dengan produsen atau pelaku usaha. Dengan demikian, influencer sebagai pengguna barang/jasa berhak memperoleh perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUPK, yang menegaskan:
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Secara yuridis, posisi influencer menjadi menarik: di satu sisi ia adalah konsumen yang berhak dilindungi hukum, namun di sisi lain, ketika ulasannya bersifat publik dan berpengaruh terhadap pasar, ia sekaligus berperan sebagai aktor sosial yang memproduksi opini ekonomi. Di titik inilah muncul ruang abu-abu antara hak sebagai konsumen dan tanggung jawab sebagai komunikator publik.
Influencer dan Asas Itikad Baik: Antara Ulasan dan Manipulasi Publik
Di era digital, pengaruh kata-kata telah menjadi komoditas. Kalimat manis di media sosial bisa menaikkan omzet usaha kecil, tetapi satu ulasan buruk dari seorang influencer dapat mengguncang reputasi bisnis yang dibangun bertahun-tahun. Di sinilah letak paradoks dunia digital: di balik layar ponsel, kata bisa menjadi alat pemberdayaan – sekaligus senjata pemusnah reputasi massal.
Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT), menyoroti satu hal penting: influencer tidak hanya “berbicara di ruang bebas”, mereka juga beroperasi di ruang hukum. Setiap ulasan, promosi, dan opini yang mereka publikasikan membawa konsekuensi hukum, moral, dan sosial.
1. Asas Itikad Baik dan Tanggung Jawab Hukum
Idealnya, influencer bekerja dalam koridor itikad baik, yakni memberikan ulasan berdasarkan pengalaman nyata, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Namun, realitas sering jauh panggang dari api.
Contohnya sederhana, tapi mematikan:
Seorang influencer memposting “review” sebuah restoran yang diklaim buruk, padahal ia bahkan tak pernah mencicipi makanannya.
Atau, influencer A yang juga pengusaha kuliner datang ke restoran milik influencer B, lalu menuliskan ulasan negatif untuk menjatuhkan reputasi kompetitornya.
Kedua contoh itu bukan lagi sekadar ekspresi pribadi – tapi bentuk manipulasi publik yang menyalahi asas itikad baik dan melanggar semangat hukum perlindungan konsumen.
Sebab, menurut Pasal 6 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), pelaku usaha juga berhak atas perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
Jadi, ketika seorang influencer memanfaatkan audiensnya untuk menyerang atau menyesatkan opini publik, ia tak lagi berdiri di bawah payung “hak berekspresi”. Ia berdiri di wilayah abu-abu antara kebebasan berpendapat dan penyalahgunaan pengaruh.
2. Kebebasan Berpendapat Bukan Kebebasan Menyesatkan
Konstitusi memang menjamin hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat. Tapi kebebasan bukan berarti tanpa batas.
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan: setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang demi menghormati hak orang lain.
Demikian pula Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal HAM menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dapat dibatasi demi kepentingan umum, kesusilaan, dan ketertiban publik.
Maka, ketika seorang influencer “menyerang” produk, restoran, atau merek tertentu tanpa dasar yang sahih, tindakan itu bukan lagi ekspresi, tapi bentuk cyber defamation – perusakan reputasi yang bisa berujung konsekuensi hukum pidana.
Kebebasan berbicara tidak boleh berubah menjadi kebebasan menghancurkan.
3. Etika Bisnis: Batas Moral di Tengah Kapitalisasi Pengaruh
Selain hukum, ada satu ranah yang tak kalah penting: etika bisnis.
Etika ini berbicara tentang tanggung jawab moral untuk tidak menyalahgunakan kepercayaan publik.
Influencer – sejatinya – bukan hanya penjual opini, tetapi aktor sosial yang membentuk persepsi publik.
Etika bisnis menuntut bahwa:
1. Setiap ulasan harus berdasar pada fakta objektif dan pengalaman nyata.
2. Review tidak boleh digunakan sebagai alat sabotase ekonomi terhadap pesaing.
3. Pengaruh digital harus dikelola dengan kesadaran kewargaan, bukan sekadar hasrat viral atau cuan.
Di titik inilah muncul pertanyaan mendasar:
Apakah kita masih bisa menyebut seorang influencer yang berbohong demi engagement sebagai “influencer”?
Atau mereka sejatinya adalah manipulator opini publik yang memelintir kebenaran demi keuntungan pribadi?
Menimbang Ulang “Kekuasaan Digital”
Era digital telah melahirkan kasta baru dalam masyarakat: para pemilik pengaruh.
Namun kekuasaan yang tidak disertai tanggung jawab hukum dan moral hanya akan melahirkan kekacauan informasi.
Kita tidak sedang kekurangan konten — kita kekurangan kejujuran dalam produksi konten.
Itu sebabnya, para influencer harus memahami bahwa pengaruh publik bukanlah hak istimewa, tetapi amanah etis dan hukum.
Mereka bukan hanya “bintang media sosial”, tetapi bagian dari ekosistem hukum dan budaya yang menuntut keadaban digital.
Saat Hukum dan Moral Bertemu di Lini Masa
Influencer yang beritikad baik adalah mitra hukum, bukan musuh publik.
Namun mereka yang menjadikan ulasan sebagai alat serangan, pantas ditinjau dengan kacamata hukum, bukan simpati.
Karena di dunia yang kian gaduh ini, kebenaran bukan lagi tentang siapa yang paling keras bicara – tetapi siapa yang tetap jujur meski tak viral.
Influencer, Etika Digital, dan Urgensi Regulasi Baru di Era Pengaruh
Kehadiran influencer di ruang digital kini bukan sekadar fenomena budaya, melainkan realitas hukum dan ekonomi yang nyata. Mereka tidak hanya membentuk selera publik, tetapi juga ikut menentukan arah pasar dan bahkan reputasi pelaku usaha. Namun, di balik euforia industri digital yang serba cepat ini, ada pertanyaan mendasar yang jarang disentuh: siapa yang mengawasi kekuasaan influencer ketika pengaruhnya berubah menjadi alat destruktif?
Absennya regulasi yang komprehensif terkait tanggung jawab influencer menciptakan ketimpangan baru di antara pelaku ekonomi digital. Di satu sisi, influencer berperan sebagai penggerak promosi dan edukasi produk; di sisi lain, mereka bisa menjadi penyebab kehancuran ekonomi mikro jika ulasan yang disampaikan menyesatkan publik.
1. Menyelaraskan Kepentingan antara Pelaku Usaha, Konsumen, dan Influencer
Diperlukan pengaturan hukum yang lebih spesifik untuk menjembatani kepentingan tiga pihak: pelaku usaha, konsumen, dan influencer.
Tanpa kerangka hukum yang jelas, aktivitas digital akan terus berada dalam ruang abu-abu antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran etika bisnis.
Aturan yang tegas bukan untuk membungkam kreativitas influencer, melainkan untuk menata ekosistem digital yang sehat dan adil. Sebab dalam masyarakat hukum yang beradab, pengaruh publik tidak boleh berdiri di atas hukum, apalagi menginjak norma kejujuran.
2. Perlindungan Hukum: Ya, Tapi dengan Syarat
Secara normatif, kegiatan influencer dalam memberikan ulasan atau review produk dilindungi oleh hukum, terutama ketika mereka bertindak sebagai konsumen sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Namun perlindungan itu tidak bersifat absolut. Ada syarat moral dan yuridis yang melekat:
Ulasan harus berdasarkan pengalaman nyata dan fakta yang benar.
Tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk, seperti menyesatkan publik, menjatuhkan pesaing, atau memutarbalikkan kebenaran demi kepentingan pribadi.
Dengan demikian, influencer bukan hanya pengguna media sosial yang bebas berbicara, melainkan juga subjek hukum yang harus bertanggung jawab atas dampak kata-katanya.
3. Kebebasan Bersuara dan Batas Kewargaan Digital
Hukum Indonesia tegas mengatur bahwa kebebasan berpendapat bukanlah kebebasan mutlak.
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan setiap orang wajib tunduk pada pembatasan hukum untuk menghormati hak orang lain dan menjaga ketertiban umum.
Dalam konteks ini, ulasan seorang influencer tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab etis terhadap reputasi pelaku usaha dan kepercayaan publik.
Kebebasan digital yang tidak disertai kesadaran hukum justru melahirkan anarki opini – di mana yang viral dianggap benar, dan yang benar tak lagi didengar.
Inilah tantangan kewargaan digital kita hari ini: menumbuhkan budaya tanggung jawab di tengah banjir ekspresi.
4. Etika Bisnis dan Urgensi Regulasi Baru
Selain aspek hukum, etika bisnis menjadi pondasi moral yang tak bisa dinegosiasikan.
Setiap review yang dilakukan influencer semestinya mengandung kejujuran, objektivitas, dan keadilan.
Etika ini bukan sekadar norma sosial, tapi bentuk tanggung jawab profesional dalam menjaga kesehatan pasar.
Namun, etika tanpa regulasi akan kehilangan daya paksa.
Karena itu, negara perlu hadir dengan regulasi yang lebih komprehensif – bukan untuk mengekang kebebasan berekspresi, tetapi untuk melindungi hak semua pihak:
Pelaku usaha agar tidak jadi korban fitnah digital,
Konsumen agar tidak disesatkan oleh opini palsu,
Dan influencer sendiri agar memiliki landasan hukum yang jelas dalam bekerja.
Dari Pengaruh Menuju Tanggung Jawab
Era digital menuntut kesadaran baru: bahwa pengaruh adalah bentuk kekuasaan, dan setiap kekuasaan menuntut pertanggungjawaban etis dan hukum.
Influencer, sebagai wajah baru dari budaya populer dan ekonomi digital, harus belajar bahwa kata-kata mereka memiliki nilai hukum – bukan sekadar nilai viralitas.
Karena pada akhirnya, pengaruh tanpa tanggung jawab adalah bentuk baru dari penyalahgunaan kekuasaan.
Dan di tengah masyarakat yang terus bergerak menuju nalar hukum, kejujuran akan tetap menjadi pengaruh yang paling berdaya.
Arthur Noija SH

















