Belu NTT, Majalahjakarta.com – Dari Kabupaten Belu, wilayah perbatasan yang berhadapan langsung dengan Timor Leste, sebuah suara pelan namun sarat luka datang dari seorang ayah, Pelda Chrestian Namo. Ia bukan sekadar orang tua yang berduka, melainkan bagian dari keluarga besar TNI yang kini tengah mempertanyakan makna keadilan dan kehormatan di tubuh institusinya sendiri.
Anaknya, Prada Lucky Namo, prajurit muda TNI AD, meninggal dunia dalam situasi yang hingga kini masih menyisakan banyak tanda tanya. Sudah 63 hari berlalu, namun belum ada kepastian hukum, belum ada sidang, belum ada keadilan yang dijanjikan.
Dalam sebuah surat terbuka yang ditujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, sang ayah menulis dengan nada getir namun penuh hormat. Ia mengingatkan kembali janji Pangdam IX/Udayana bahwa kasus kematian putranya akan diproses secara terbuka dengan melibatkan 20 orang tersangka. Namun hingga kini, ia mengaku belum pernah menerima informasi resmi terkait perkembangan perkara tersebut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pangdam IX/Udayana telah menyampaikan bahwa ada 20 orang tersangka dan kasus akan diproses terbuka untuk umum. Tapi hingga kini, kami tak pernah menerima kabar apa pun. Janji transparansi itu menguap tanpa jejak,” tulisnya dalam surat tersebut.
Lebih menyayat lagi, Pelda Chrestian mengungkap adanya upaya damai melalui uang Rp10 juta per pelaku, disertai surat pernyataan agar kasus dianggap selesai.
“Ada yang datang membawa uang, meminta kami menandatangani surat perdamaian. Bahkan, mereka berusaha mengadu domba antara saya dan ibu korban agar kami berhenti menuntut keadilan,” ungkapnya.
Namun, darah prajurit dalam dirinya menolak tunduk. Ia menegaskan, perjuangan ini bukan untuk mencari belas kasihan, melainkan untuk menagih janji negara atas tegaknya hukum dan martabat TNI.
“Kami percaya, di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto – seorang prajurit sejati – keadilan dan kehormatan TNI akan ditegakkan tanpa pandang bulu. Kami hanya meminta agar pelaku dipecat dan dihukum seberat-beratnya, termasuk hukuman mati jika pantas,” tegasnya.
Surat terbuka itu kini menyebar luas dan menjadi refleksi moral dari wilayah perbatasan – bahwa keadilan tidak boleh diam, apalagi diperdagangkan. Dalam konteks studi kebijakan dan etika militer, peristiwa ini mengundang pertanyaan mendasar: sejauh mana mekanisme penegakan hukum di tubuh TNI mampu menjamin akuntabilitas dan transparansi, terutama ketika korban berasal dari kalangan bawah.
Para pengamat menilai, kasus ini menyoroti ketegangan antara sistem disiplin militer dan prinsip hak asasi manusia (HAM) yang dijamin konstitusi. Dalam kerangka akademik, tragedi Prada Lucky Namo mencerminkan pentingnya reformasi tata kelola peradilan militer yang adil dan terbuka terhadap pengawasan publik.
Di rumah duka di Belu, potret Prada Lucky masih tergantung rapi di dinding, senyumnya abadi di tengah kesunyian. Di bawah bendera merah putih yang berkibar di halaman rumahnya, Pelda Chrestian Namo masih menunggu – menunggu hari di mana negara benar-benar berpihak pada rakyat kecil yang berjuang bukan untuk ketenaran, melainkan untuk kebenaran. (Lukas)

















