Jakarta, Majalahjakarta.com – Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan keluarga almarhum Ichsan membuka tabir dugaan praktik manipulasi identitas dalam pengajuan kredit di Bank DKI. Putusan ini sekaligus membantah pernyataan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Safrianto Zuriat Putra, yang dinilai menunjukkan ketidakpahaman hukum serta kecenderungan berpihak pada institusi perbankan ketimbang pada korban.
Dalam konferensi pers pada Jumat, 19 September 2025, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Safrianto Zuriat Putra, menyatakan bahwa perkara dugaan kredit fiktif yang dilaporkan keluarga almarhum Ichsan tidak mengandung unsur kerugian negara.
Menurut Safrianto, Bank DKI masih menguasai aset jaminan kredit dengan nilai yang disebut lebih tinggi dari pinjaman. “Karena itu, tidak ada unsur kerugian negara sehingga perkara ini bukan termasuk tindak pidana korupsi,” ujarnya kepada wartawan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara (DPP PPNT), Arthur Noija, menilai pernyataan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tidak berdasar dan menunjukkan ketidakpahaman terhadap pokok perkara, bahkan berpotensi menyesatkan opini publik.
“Putusan PTUN sudah jelas menyatakan adanya manipulasi data identitas atas nama Ichsan. Fakta hukumnya terbuka. Bagaimana mungkin Kejari menyebut tidak ada pelanggaran? Ini bentuk nyata pembodohan publik,” ujar Arthur di kantornya di Gedung Yayasan PKP Pomad, Jalan Jambrut Nomor 14, Kenari, Senen, Jakarta Pusat, Kamis, 9 Oktober 2025.
Arthur juga mengkritik sikap Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang dinilai tidak profesional karena belum pernah memeriksa Iin Jubaedah, istri almarhum Ichsan, sebagai saksi korban, meskipun nama suaminya digunakan secara tidak sah dalam pengajuan kredit ke Bank DKI.
“Ini aneh. Korbannya tidak pernah diperiksa, tapi sudah berani menyimpulkan tidak ada pidana. Bahkan Kejari malah menjadi mediator yang menawarkan tanah korban untuk dijual, padahal identitas yang dipakai dalam transaksi kredit itu terbukti palsu. Tindakan semacam ini jelas mencoreng integritas penegakan hukum,” kata Arthur.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Pusat tertanggal 2 Oktober 2025 menyatakan perubahan data identitas pemegang hak atas Sertifikat Hak Milik Nomor 591/Tanah Tinggi batal demi hukum. Dalam amar putusannya, majelis hakim memerintahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Pusat mencabut serta mencoret perubahan data tersebut, dan mengembalikannya ke identitas asli sesuai data tahun 1979 atas nama Ichsan.
Kasus ini bermula dari pinjaman pribadi antara Ichsan dan seorang bernama Tony Wiguna senilai Rp97 juta, dengan sertifikat tanah dijadikan jaminan. Namun, setelah utang dilunasi, Ichsan kesulitan mengambil kembali sertifikatnya karena Tony Wiguna tidak lagi bisa dihubungi dan alamatnya tidak ditemukan.
Ichsan kemudian mendapati sertifikat tanah miliknya telah dijadikan jaminan kredit di Bank DKI dengan menggunakan identitas palsu yang mencatut namanya. Dari dokumen yang diperoleh keluarga, terdapat sedikitnya tiga versi identitas atas nama Ichsan yang dipakai dalam proses permohonan blanko sertifikat dan pengajuan kredit.
Dalam data asli, Ichsan tercatat lahir pada 1 Februari 1962, beragama Islam, dan beristri Iin Jubaedah. Namun, dalam berkas permohonan blanko baru dan dokumen kredit di Bank DKI, tertera data berbeda: Ichsan disebut lahir pada 12 Agustus 1970, beragama Kristen, dan memiliki nama istri lain.
Dalam proses persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Pusat, terungkap bahwa permohonan penggantian sertifikat tanah diajukan oleh seseorang bernama Noldy Simon, staf kantor Notaris/PPAT Reni Darwis, yang mengaku sebagai penerima kuasa dari sosok Ichsan palsu. Surat kuasa bertanggal 15 Agustus 2012 itu digunakan untuk mengurus penerbitan sertifikat baru dan pengajuan kredit di Bank DKI.
Padahal, dalam sistem perbankan nasional, terutama pada lembaga milik pemerintah daerah seperti Bank DKI, proses pemberian kredit seharusnya melewati verifikasi berlapis – mulai dari prosedur know your customer (KYC), pengecekan keabsahan dokumen melalui BPN, hingga konfirmasi langsung kepada pemilik sah sertifikat. Fakta bahwa kredit dapat dicairkan atas nama dengan identitas palsu mengindikasikan adanya kelalaian serius, jika bukan dugaan persekongkolan.
Namun, alih-alih menelusuri dugaan pemalsuan dan pelanggaran prosedur perbankan, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat justru menyatakan perkara ini tidak memiliki unsur pidana. “Kejaksaan semestinya menjadi garda penegakan hukum, bukan corong bank pelaku kelalaian. Kami mendesak Kejaksaan Agung turun tangan menyelidiki kasus ini,” kata Ketua Umum DPP Peduli Nusantara, Arthur Noija. (ls)

















