Jakarta, Majalahjakarta.com – Pada 9 Oktober 2025, publik dikejutkan oleh tuntutan berat yang diajukan Jaksa Penuntut Umum terhadap Nikita Mirzani: 11 tahun penjara dan denda Rp2 miliar atas dugaan pemerasan serta tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Tuntutan itu bukan sekadar angka dalam berkas perkara, melainkan sinyal kuat tentang bagaimana hukum memaknai kekuasaan, pengaruh, dan ketimpangan di hadapan keadilan.
I. Tuntutan Megah dan Makna di Baliknya
Angka sebelas tahun dan dua miliar rupiah bukan hanya representasi hukum, melainkan simbol kekuasaan.
Jaksa menuntut dengan nada megah, seolah sedang menegakkan moral publik. Namun di balik itu, publik bertanya: adakah proporsionalitas? Ataukah ini bagian dari ritual penghukuman sosial yang kini menjelma di panggung hukum?
Yang kuat diguncang, yang lemah dipaksa tunduk. Kalimat itu terasa menggema di setiap pasal yang dibacakan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
II. Instrumen Ancaman dalam Bentuk Digital
Jaksa menuduh Nikita mengancam Reza Gladys pemilik PT Glafidsya RMA Group melalui komentar negatif di media sosial bila uang “penutup mulut” tidak diserahkan.
Akar persoalan ini tidak hanya soal uang, tapi tentang kekuatan narasi digital: opini daring yang kini mampu mengguncang reputasi lebih cepat dari palu hakim.
Pertanyaannya, apakah ancaman kata di dunia maya bisa otomatis diterjemahkan sebagai pemerasan, tanpa menimbang konteks dan intensi?
III. Uang, Rumah, dan Jejak yang Disembunyikan
Dalam sidang di PN Jakarta Selatan, disebutkan Nikita bersama asistennya menerima uang Rp 4 miliar. Sebagian dana itu disebut digunakan untuk mengangsur rumah di BSD lokasi prestisius yang kini menjadi saksi bisu perkara.
Bila uang itu nyata, mengapa tidak dilaporkan sejak awal? Bila tak nyata, mengapa dijadikan alibi?
Di sinilah absurditas perkara hukum sering tampak: fakta bisa jadi fiksi, fiksi bisa jadi bukti.
IV. UU ITE + UU TPPU: Alat Hukum atau Alat Pemukul?
Jaksa mendasarkan tuntutannya pada UU ITE dan UU TPPU juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Namun kita tahu, UU ITE sering menjadi senjata bermata dua: bisa melindungi yang lemah, tetapi lebih sering digunakan untuk membungkam suara yang dianggap mengganggu tatanan.
Apakah ini tentang keadilan, atau tentang siapa yang menguasai tafsir atas hukum?
V. Peluang Pledoi, Lorong yang Belum Tentu Terang
Sidang putusan baru akan digelar setelah agenda pembelaan dari pihak terdakwa.
Kata pledoi terdengar sakral di ruang sidang ia menjadi lorong harapan terakhir bagi siapa pun yang dituduh.
Namun, siapa bisa menjamin lorong itu tidak terselubung pintu jebakan? Dalam sistem hukum yang rawan tekanan, pembelaan kadang hanya formalitas di atas panggung yang sudah diatur arah lakonnya.
VI. Sikap Nikita: Tegar, Sindir, dan Tanding Narasi
Meski menghadapi tuntutan berat, Nikita tampil tenang, bahkan menyindir:
“Ketawa karena ngarangnya banyak banget… JPU juga harus dicek hartanya tuh.”
Tawa itu bukan sekadar reaksi emosional, melainkan bentuk perlawanan naratif bahwa di medan hukum modern, pertarungan tak hanya terjadi di berkas perkara, tapi juga di ruang opini publik.
Dari sudut tertentu, ia bukan sekadar terdakwa, melainkan penantang sistem.
VII. Penegakan Hukum: Kejujuran atau Pilihan Strategis?
Pertanyaan paling mendasar muncul: apakah aparat penegak hukum jaksa, penyidik, hakim benar-benar independen?
Atau mereka hanya aktor dalam panggung besar yang sudah ditentukan siapa yang akan diperangkap, dan siapa yang akan diselamatkan?
Hukum seharusnya tidak memilih, tidak memihak. Namun dalam kenyataan, terlalu sering ia digunakan sebagai alat politik moral, cara halus untuk menjinakkan mereka yang terlalu vokal atau tidak mau tunduk.
VIII. Media, Publik, dan Petualangan Narasi
Kasus ini tidak hanya diadili di ruang sidang, tapi juga di ruang redaksi dan timeline.
Media seperti detik.com melaporkan tuntutan itu pada 9 Oktober 2025, namun publik tahu: setiap media punya agenda apa yang disorot, apa yang disembunyikan, apa yang digiring.
Di era seperti ini, fakta bukan lagi sesuatu yang ditemukan, melainkan sesuatu yang dibentuk dan dikukuhkan melalui pemberitaan.
IX. Risiko Netralitas: Antara Citra dan Keberpihakan
Ketika aparat dan media sama-sama mengklaim “netral”, publik justru makin sulit percaya.
Terlalu sering netralitas menjadi kedok keberpihakan yang tersamar. Terutama saat sosok terkenal dijadikan contoh keras, sebagai pelajaran bagi publik agar tidak berani menentang sistem.
Jika tuntutan sebelas tahun itu memang berdasar pada fakta, biarlah hakim menjatuhkan vonis adil. Tapi jika itu sekadar peringatan bagi siapa pun yang berani bersuara maka kita tengah menapaki jalan sempit menuju kematian kebebasan berekspresi.
X. Kesimpulan: Keadilan yang Tak Mau Diam
Kasus Nikita Mirzani bukan sekadar perkara hukum. Ia adalah cermin kusam dari wajah keadilan kita tentang siapa yang berani, siapa yang dianggap lemah, dan siapa yang layak dihukum.
Dalam drama hukum ini, kita masyarakat hanya bisa menjadi penonton yang kritis.
Karena keadilan sejati mungkin tidak lahir di meja sidang,
melainkan di hati publik yang berani bertanya:
siapa sebenarnya yang diadili?

















