Influencer di Mata Hukum Publik: Ketika Popularitas Tanpa Etika Menjadi Wabah Baru Demokrasi Digital

- Penulis

Kamis, 9 Oktober 2025 - 09:54

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta yang konsisten dalam advokasi kebijakan publik menegaskan bahwa dalam perspektif hukum publik, influencer bukan sekadar figur maya dengan jutaan pengikut, tetapi subjek hukum yang memiliki tanggung jawab sosial dan moral, sama seperti pengiklan atau pelaku usaha lainnya.

Di era digital, ruang publik telah berpindah dari alun-alun ke layar gawai. Namun, perubahan medium tidak otomatis menghapus etika kewargaan. Influencer yang mengiklankan produk, menyebarkan opini, atau membentuk persepsi publik sesungguhnya sedang memainkan peran baru dalam demokrasi digital-yakni sebagai aktor kebijakan kultural yang memengaruhi cara masyarakat berpikir dan bertindak.

Menurut PPNT, pengertian influencer tidak bisa dipahami hanya sebagai “orang terkenal di media sosial.” Mereka adalah individu yang menggunakan pengaruhnya untuk mempromosikan barang, jasa, atau ide, dengan imbalan ekonomi maupun simbolik. Karena itu, posisi mereka dalam hukum publik tidak lagi berada di ruang abu-abu. Influencer yang memproduksi konten harus memastikan bahwa pesan yang disebarkan tidak menyesatkan, tidak mengandung hoaks, dan tidak merugikan konsumen.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tanggung Jawab Hukum Influencer: Antara Popularitas dan Etika Kewargaan Digital
Di zaman ketika like lebih dipuja daripada literasi, dan followers lebih dihitung daripada nilai moral, para influencer tampil bak nabi digital – menyampaikan “wahyu komersial” kepada umat daring yang lapar gaya hidup. Namun, di balik cahaya ring light dan kata-kata manis yang viral, hukum publik menatap dengan mata tajam: setiap pengaruh punya tanggung jawab, setiap promosi punya konsekuensi hukum.

Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta menegaskan bahwa influencer yang mempromosikan produk atau layanan bertindak sebagai pengiklan, bukan sekadar “pembawa pesan keren”. Dalam kapasitas itu, mereka terikat oleh hukum perlindungan konsumen dan regulasi periklanan. Artinya, setiap kata, gambar, dan ajakan mereka harus tunduk pada prinsip: tidak menipu, tidak menyesatkan, dan tidak merugikan masyarakat.

Sayangnya, budaya digital kita sering kali lebih sibuk mencintai sensasi ketimbang memeriksa fakta. Banyak influencer bersembunyi di balik dalih “hanya berbagi pengalaman pribadi”, padahal di balik unggahan itu mengalir kontrak, komisi, dan kompensasi. Maka, kewajiban hukum untuk memberikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan bukan sekadar formalitas – ia adalah bentuk integritas kewargaan digital.

Lebih jauh, hukum publik menuntut adanya pengungkapan (disclosure) yang jelas. Setiap influencer wajib memberi tahu publik ketika mereka menerima imbalan atau berkolaborasi dengan merek tertentu. Transparansi ini bukan basa-basi etik, melainkan bagian dari hak konsumen untuk tahu – hak yang sering digadaikan demi estetika unggahan dan narasi personal yang tampak “tulus”.

Baca Juga:  Dewan Kota di Persimpangan Hukum: Dari Wadah Partisipasi Menjadi Seremonial Birokrasi

Influencer dan Bayang-Bayang Hukum: Ketika Popularitas Tak Lagi Kebal dari Tanggung Jawab
Di era digital, banyak orang bercita-cita menjadi influencer – profesi baru yang menjanjikan pengaruh, kemasyhuran, dan pendapatan. Namun, di balik gemerlap layar dan gelombang followers, ada satu hal yang sering dilupakan: hukum tidak pernah ikut viral, tapi selalu punya cara untuk hadir.

Dalam perspektif hukum publik, influencer bukan sekadar pelaku kreatif, melainkan subjek hukum yang wajib tunduk pada norma dan peraturan yang berlaku. Mereka memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum, termasuk memastikan bahwa konten promosi yang disebarkan tidak melanggar undang-undang, tidak menyesatkan publik, dan tidak mempromosikan produk ilegal atau berbahaya.

Namun, ruang digital kita kerap abai terhadap hal ini. Budaya endorsement sering kali beroperasi di wilayah abu-abu: barang tak jelas asal-usulnya, klaim bombastis tanpa uji etik, dan promosi yang lebih mengutamakan sensasi ketimbang tanggung jawab. Di titik ini, hukum publik bukan sekadar pengingat, melainkan pagar moral yang memisahkan antara kreativitas dan kejahatan digital.

Ketika promosi yang dilakukan influencer menimbulkan kerugian bagi konsumen, konsekuensi hukum tak bisa dihindari. Dalam ranah perdata, influencer dapat dimintai pertanggungjawaban untuk memberikan ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat informasi yang tidak benar atau produk berbahaya yang mereka promosikan. Ini bukan sekadar perkara citra, tetapi menyangkut hak konstitusional masyarakat untuk memperoleh informasi yang jujur dan dapat dipercaya.

Lebih serius lagi, jika keterlibatan mereka beririsan dengan tindakan melanggar hukum-seperti mempromosikan akun penipuan, menyebarkan hoaks, atau menjual produk ilegal-maka sanksi pidana menanti. Pada titik ini, popularitas bukan lagi tameng, melainkan sorotan. Sebab, hukum tidak pernah tunduk pada jumlah pengikut.

Kritiknya jelas: budaya digital kita terlalu cepat memberi panggung, tapi terlalu lambat memberi kesadaran. Banyak influencer ingin dihormati layaknya tokoh publik, tapi menolak tanggung jawab hukum yang menyertainya. Padahal, di ruang publik modern, pengaruh tanpa akuntabilitas hanyalah bentuk baru dari ketidaktahuan yang berbahaya.

Menjadi influencer sejatinya berarti menjadi warga digital yang cerdas hukum, beretika, dan sadar dampak. Bukan sekadar pencipta tren, tetapi juga penanggung jawab moral atas arus informasi yang ia sebarkan. Dalam masyarakat yang semakin digital, tanggung jawab adalah wajah baru dari kebebasan.

Arthur Noija SH
Fhoto: Paper.id

Berita Terkait

Pengadilan Kepercayaan: Hukuman di Tangkai Amanah?
Redenominasi Rupiah: Solusi Atau Bencana Tersembunyi
Pengelolaan Koperasi MTI Diduga Tidak Transparan, Sejumlah Aset Dipertanyakan Anggota
Jejak Kelabu di Balik Kilau CPO Nasional
LSM ELANG MAS Minta Kejari Asahan Usut Dugaan Korupsi di MIN 1 Asahan: Transparansi Dana Pendidikan Kembali Dipertanyakan
Sufmi Dasco Ahmad dan Dinamika Kepemimpinan Baru: Dari Parlemen ke Panggung Pilpres 2029
HAKAN Dorong Reformasi UU Kewarganegaraan: Perlindungan Hukum untuk Perkawinan Campuran dan Diaspora Indonesia
Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Berita ini 17 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Sabtu, 8 November 2025 - 20:01

Pengadilan Kepercayaan: Hukuman di Tangkai Amanah?

Sabtu, 8 November 2025 - 19:51

Redenominasi Rupiah: Solusi Atau Bencana Tersembunyi

Sabtu, 8 November 2025 - 07:37

Pengelolaan Koperasi MTI Diduga Tidak Transparan, Sejumlah Aset Dipertanyakan Anggota

Sabtu, 8 November 2025 - 01:36

Ledakan di SMA 72 Jakarta: Alarm Keselamatan di Ruang Belajar

Jumat, 7 November 2025 - 18:33

Beton di Atas Nurani: Ketika Pembangunan Kota Menyingkirkan Warganya Sendiri

Jumat, 7 November 2025 - 17:36

LSM ELANG MAS Minta Kejari Asahan Usut Dugaan Korupsi di MIN 1 Asahan: Transparansi Dana Pendidikan Kembali Dipertanyakan

Jumat, 7 November 2025 - 17:06

Sufmi Dasco Ahmad dan Dinamika Kepemimpinan Baru: Dari Parlemen ke Panggung Pilpres 2029

Jumat, 7 November 2025 - 16:39

HAKAN Dorong Reformasi UU Kewarganegaraan: Perlindungan Hukum untuk Perkawinan Campuran dan Diaspora Indonesia

Berita Terbaru

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x