Kefamenanu, Majalahjakarta.com – Keputusan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, membatalkan 186 formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menimbulkan gelombang keresahan di kalangan tenaga honorer yang telah menunggu kepastian selama bertahun-tahun.
Mereka yang semula telah mengantongi surat kelulusan kini harus menelan kenyataan pahit: status mereka dibatalkan melalui surat resmi Bupati TTU, Yosep Falentinus Delasalle Kebo, bernomor 800.1.2/1200/BKPSDM. Dalam surat itu, hasil pemeriksaan Inspektorat menyebut sejumlah peserta dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) secara administrasi.
Namun bagi Komisi I DPRD TTU, penjelasan administratif tidak cukup untuk menenangkan publik. Lembaga legislatif ini menilai bahwa setiap kebijakan publik yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat harus memiliki dasar hukum yang kuat, transparansi yang jelas, serta kepekaan moral terhadap dimensi sosial keputusan tersebut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami tidak ingin sekadar mendengar alasan teknis. Komisi ingin memastikan apakah proses ini berjalan sesuai hukum dan etika birokrasi,” ujar Ketua Komisi I DPRD TTU, Jhoni Tulasi, di Kefamenanu, Kamis (9/10/2025).
Komisi I dijadwalkan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama BKPSDM dan Inspektorat TTU pada Jumat (10/10/2025), guna menelusuri lebih dalam latar belakang dan prosedur di balik pembatalan tersebut. Tulasi menegaskan, DPRD bukan hanya menagih jawaban, tetapi juga tanggung jawab moral atas kebijakan yang memengaruhi hajat hidup banyak orang.
Dari sisi kebijakan, langkah pembatalan sepihak tanpa penjelasan komprehensif berpotensi menabrak asas transparansi publik dan prinsip kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam kerangka good governance, setiap keputusan publik wajib mempertimbangkan aspek keadilan substantif, bukan hanya kepatuhan administratif.
“Kritik ini bukan untuk menyerang, tetapi untuk mengingatkan. Kebijakan publik yang sehat harus berpihak pada nilai keadilan sosial, bukan sekadar pada dokumen dan prosedur,” tambah Tulasi.
Bagi banyak tenaga honorer di TTU, PPPK bukan sekadar status pekerjaan, melainkan simbol dari pengabdian panjang tanpa pamrih di ruang kelas, kantor desa, dan instansi pelayanan publik di pelosok kabupaten.
Namun kini, nasib mereka kembali ditimbang oleh birokrasi yang kerap terasa dingin dan berjarak. Di warung kopi dan ruang percakapan daring, nama-nama mereka kembali disebut—bukan sekadar sebagai data, melainkan sebagai kisah perjuangan yang menuntut keadilan.
Komisi I DPRD TTU berharap rapat tersebut dapat menjadi momentum evaluasi kebijakan publik yang lebih berkeadilan, sekaligus ujian bagi integritas pemerintah daerah dalam menjalankan prinsip keterbukaan dan tanggung jawab sosial.
“Kami ingin melihat sejauh mana niat baik itu benar-benar hidup dalam keputusan birokrasi. Karena di balik setiap berkas administrasi, ada manusia yang menggantungkan hidup dan harapannya,” tutup Tulasi dengan tegas.
(Lukas)

















