Gubernur “Pura-Pura Sibuk” Jawa Barat

- Penulis

Rabu, 8 Oktober 2025 - 13:58

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Bandung, Majalahjakarta.com – Ketika Dedi Mulyadi menyatakan bahwa seorang gubernur “sebenarnya tidak punya pekerjaan” dan menyebut kegiatannya sebagai “pura-pura sibuk”, kata-kata itu tak sekadar provokasi retoris: ia memantik pertanyaan keras tentang esensi jabatan publik, ambang performa di balik citra, dan ironi dalam politik modern. Di balik gembar-gembor kunjungan dan mobil “tet tot wok wok”, apakah ia sedang mengungkap kekosongan birokrasi atau sekadar menciptakan sandiwara?

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengundang kontroversi ketika dalam rapat paripurna DPRD Kabupaten Indramayu pada Selasa (7/10/2025) menyatakan: “Kalau gubernur sibuk, pura-pura sibuk itu.” (Liputan6, 7 Oktober 2025) Ucapan itu tajam, seakan menampar citra para pemimpin eksekutif di daerah yang berlomba tampil energik dan aktif sekaligus mempertanyakan apakah di balik gegap gempita aktivitas publik tersembunyi kekosongan peran.

Di hadapan legislator Indramayu, Dedi pamer data anggaran dan program jumlah dana untuk infrastruktur, pendidikan, listrik, penerangan, dan gagasan pemangkasan perjalanan dinas demi efisiensi. (Liputan6, 7 Oktober 2025) Namun klaim “tidak ada kerjaan” yang ia lontarkan dalam konteks itu bukan hanya candaan sinis: ia mencoba mendestabilisasi ekspektasi publik tentang apa seharusnya pekerjaan seorang gubernur.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Terlihat jelas bahwa penyataan ini berfungsi sebagai manuver retoris: menyindir para pemimpin yang sibuk berkeliling (dengan pengawalan “tot tot wok wok”) demi menampilkan kesibukan, sementara esensi fungsi malah diabaikan. (Liputan6, 7 Oktober 2025) Apakah Dedi mencari simpati sebagai “gubernur yang berpihak rakyat kecil,” atau ia ingin merebut definisi kerja publik agar serasi dengan gaya kepemimpinannya sendiri?

Ironi Fungsi, Batas Wewenang
Sebelum puisi retorikanya, fakta struktural memang menunjukkan bahwa gubernur bukanlah kepala wilayah administratif paling kecil yang berhadapan langsung dengan persoalan RT/RW. Dalam tata pemerintahan Indonesia, pemprov memiliki domain kebijakan makro instrumen regulasi, koordinasi antar kabupaten/kota, alokasi APBD provinsi—sementara pelayanan dasar sering tertumpu ke pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, klaim “tidak ada kerjaan” bisa dilihat sebagai pengakuan ironi birokrasi: jabatan sarat simbolik, tapi terbatas dalam ruang kendali langsung.

Dedi mengakui bahwa dalam kenyataan, ia “mengambil alih pekerjaan” bupati/walikota, menerima pengaduan warga, dan menyelesaikan persoalan yang seharusnya menjadi tugas daerah. (Liputan6, 7 Oktober 2025) Jika benar dilakukan dan bukan sekadar retorika, ini bisa diterjemahkan sebagai kepemimpinan “injektif” masuk ke ruang yang seharusnya menjadi domain lain atau sebagai klaim harusnya pemimpin itu aktif turun tangan di segala tempat.

Tapi disitulah persoalannya: apakah setiap jabatan harus menjadi multitasker penyelesai masalah lokal? Jika fenomena ini menjadi norma, kita melahirkan gubernur yang harus “mengerjakan segalanya” supaya dipandang sahih yang berbahaya dalam sistem pembagian tugas dan akuntabilitas pemerintahan.

Panggung Citra dan Politik Konten
Ketika seorang gubernur bebas menyatakan jabatan “tidak punya kerjaan,” ia membuka ranah interpretasi publik terhadap performa dan citra. Dedi Mulyadi sendiri dikenal piawai mengelola media sosial dan konten publik di ranah digital; ia pada musim kampanye lalu mendapat julukan “gubernur konten” (content governor). (Wikipedia, Dedi Mulyadi) Dengan demikian, pernyataan provokatif semacam ini tak lepas dari strategi brand politik: memosisikan diri sebagai pemimpin “jujur”, anti-pencitraan semu, dan dekat ke masyarakat.

Baca Juga:  Luar Biasa! Sat Narkoba Polres Simalungun Gulung 3 Tersangka Narkoba di 2 Lokasi Berbeda dalam Sehari

Namun strategi semacam itu punya risiko: jika klaimnya dinilai berlebihan atau kontradiktif terhadap kenyataan, rakyat bisa menyebutnya hipokrasi. Apalagi jika kemudian aktivitas lapangan, perjalanan dinas, unggahan media sosial, dan acara seremoni justru tampak padat bukan kosong. Dengan demikian ia harus menjaga keseimbangan: sinisme terhadap birokrasi, tapi tak kehilangan wibawa eksekutif.

Dilema Kinerja Publik vs Hiburan Elektoral
Ungkapan “tidak ada kerjaan” menyodorkan dilema: apakah kita menginginkan gubernur yang menjalankan tugas teknis nyata (pemantauan lapangan, supervisi, regulasi), atau yang tampil menghibur publik lewat kesan aktivitas? Dalam konteks demokrasi modern, citra sering punya kekuatan politik yang melebihi substansi kerja. Bila konten visual perjalanan, potret kunjungan, dan ekspos media menjadi tolok ukur penilaian, maka esensi administrasi bisa tergerus.

Pada titik ini, Dedi sebenarnya mengekspos kelemahan sistem politik kita: ruang kosong bagi pemimpin untuk tampil tanpa kerja substansial, karena publik sering sulit memverifikasi peran teknis secara langsung. Pernyataan itu juga menantang publik untuk memikir ulang tolok ukur kepemimpinan: apakah jumlah foto di media sosial dan liputan kunjungan jadi indikator keberhasilan?

Risiko Delegitimasi dan Ekspektasi Publik
Jika narasi “tidak punya kerjaan” menjadi viral, konsekuensinya bisa fatal bagi kepercayaan publik terhadap institusi gubernur bahwa pejabat tinggi bisa jadi simbol kosong. Karena itu Dedi perlu menunjukkan bahwa klaim itu paradoks, bukan nihilisme: ia harus membuktikan kapasitas menggerakkan kebijakan, memfasilitasi koordinasi antar instansi, dan menjembatani problem tata ruang yang memerlukan wewenang provinsi.

Tapi publik pun bisa bereaksi skeptis: “Kalau memang tidak punya kerjaan, kenapa perjalanan dinas dan kunjungan tampak padat?” Apakah itu bagian dari “gaya kerja” atau stimulasi publik via content? Jika terlalu sering muncul sebagai hiburan publik, klaim “kosong” bisa berubah menjadi olokan bahwa jabatan itu hanya panggung monolog.

Kesempatan Transparansi dan Reformasi
Tidak semua retorika buruk: pernyataan ini bisa dijadikan katalis transparansi. Jika gubernur mau menindaklanjuti dengan audit kerja, laporan mingguan tentang kegiatan inti (bukan sekadar seremoni), dan dialog terbuka ke publik, maka sinisme ini bisa menghasilkan reformasi: wilayah “jabatan kosong” harus diisi dengan rutinitas yang jelas, terukur, dan bisa diawasi.

Misalnya, jadikan klaim “tidak ada kerjaan” sebagai tantangan: tunjukkan agenda struktural provinsi misalnya udara bersih, alih fungsi lahan, sistem transportasi, pemetaan layanan sosial yang tak bisa ditampilkan lewat kunjungan seremonial. Jika ia mempublikasikan data tugas teknis (rapat koordinasi antar daerah, kebijakan intervensi provinsi, hasil audit), maka kritikus bisa dicek ulang.

Sindiran yang Mengusik atau Sandiwara Publik?
Ucapan Dedi Mulyadi tentang “gubernur tidak punya kerjaan” layak jadi sinyal waspada: bahwa di balik panggung kegiatan publik bisa ada ruang kosong fungsi strategi. Tapi apakah pernyataan itu merupakan pengakuan fragmen birokrasi, taktik politik konten, atau keduanya? Waktu dan aksi nyatalah yang akan menjawab. Jika sinisme hanya kosong retorika, maka citra “pura-pura sibuk” menjadi jebakan reputasi sendiri. Jika ia bisa membalik skenario itu menjadi tuntutan transparansi dan akuntabilitas, maka dari sindiran bisa lahir kecerdasan baru dalam memahami kerja publik.

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Pengadilan Kepercayaan: Hukuman di Tangkai Amanah?
Redenominasi Rupiah: Solusi Atau Bencana Tersembunyi
Timsus Dayok Mirah Polres Pematangsiantar Cegah Balap Liar, Dua Motor Knalpot Brong Diamankan
Pengelolaan Koperasi MTI Diduga Tidak Transparan, Sejumlah Aset Dipertanyakan Anggota
Ledakan di SMA 72 Jakarta: Alarm Keselamatan di Ruang Belajar
Jejak Kelabu di Balik Kilau CPO Nasional
Beton di Atas Nurani: Ketika Pembangunan Kota Menyingkirkan Warganya Sendiri
LSM ELANG MAS Minta Kejari Asahan Usut Dugaan Korupsi di MIN 1 Asahan: Transparansi Dana Pendidikan Kembali Dipertanyakan
Berita ini 8 kali dibaca
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Sabtu, 8 November 2025 - 20:01

Pengadilan Kepercayaan: Hukuman di Tangkai Amanah?

Sabtu, 8 November 2025 - 19:51

Redenominasi Rupiah: Solusi Atau Bencana Tersembunyi

Sabtu, 8 November 2025 - 07:37

Pengelolaan Koperasi MTI Diduga Tidak Transparan, Sejumlah Aset Dipertanyakan Anggota

Sabtu, 8 November 2025 - 01:36

Ledakan di SMA 72 Jakarta: Alarm Keselamatan di Ruang Belajar

Jumat, 7 November 2025 - 18:33

Beton di Atas Nurani: Ketika Pembangunan Kota Menyingkirkan Warganya Sendiri

Jumat, 7 November 2025 - 17:36

LSM ELANG MAS Minta Kejari Asahan Usut Dugaan Korupsi di MIN 1 Asahan: Transparansi Dana Pendidikan Kembali Dipertanyakan

Jumat, 7 November 2025 - 17:06

Sufmi Dasco Ahmad dan Dinamika Kepemimpinan Baru: Dari Parlemen ke Panggung Pilpres 2029

Jumat, 7 November 2025 - 16:39

HAKAN Dorong Reformasi UU Kewarganegaraan: Perlindungan Hukum untuk Perkawinan Campuran dan Diaspora Indonesia

Berita Terbaru

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x