Jakarta, Majalahjakarta.com – Di republik ini, keputusan partai bukan lagi dilahirkan di daerah tapi diperintahkan dari Jakarta. Dana operasional, rekomendasi calon ketua provinsi dan kabupaten/kota, bahkan peluang kader lokal menentukan arah partainya sendiri, tampak semakin remuk oleh dominasi DPP dan restu Ketua Umum. Akibatnya, masyarakat daerah kehilangan wadah suara yang punya kuasa, bukan sekadar bayang-bayang elite pusat.
Sentralisasi kekuasaan dalam partai politik (parpol) di Indonesia bukanlah gambaran abstrak ini kenyataan yang memelankan denyut demokrasi lokal, mengikis ruang partisipasi, dan membungkus kepartaian dalam gelang elit pusat. Bila selama ini wacana otonomi lokal dan desentralisasi menjadi jargon reformasi, saat ini mereka dijatuhi pertanyaan: di mana ruang rakyat dan daerah jika semua hal praktis keputusan dan dana terkonsentrasi di DPP?
Setiap parpol yang telah berhasil meraih kursi di DPR menampilkan pola yang nyaris seragam: keputusan strategis terkait kepengurusan tingkat provinsi hingga kabupaten/kota ditentukan oleh pusat. Bukan melalui proses pemilihan atau konsultasi yang kuat di daerah, melainkan melalui rekomendasi, restu, atau intervensi Ketua Umum dan DPP. Ini tidak hanya melemahkan otoritas pengurus di tingkat provinsi/daerah, tetapi juga menjadikan mereka sebagai figur dekoratif yang ikut mendukung keputusan dari atas.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena ini sudah dibahas akademis: dalam artikel Anomali Kewenangan Dewan Pimpinan Pusat Partai Politik dalam Sistem Desentralisasi Pemerintahan di Indonesia disebutkan bahwa DPP, khususnya Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, menentukan calon gubernur/wakil gubernur, walikota/bupati secara sentralistis, sementara DPD dan DPC (provinsi dan kabupaten/kota) menjadi lembar kosong dalam menentukan arah calon.
Dampak nyata dari sistem seperti ini adalah kekosongan pengembangan kader daerah. Saat rekomendasi dan restu pusat menjadi syarat mutlak, kader lokal yang mungkin lebih memahami konteks, masalah, dan aspirasi masyarakatnya sendiri, menjadi tergeser bukan karena kalah kompetisi, melainkan karena tidak punya akses ke pusat. Partai seolah menjadi organisasi satu arah: dari atas ke bawah, bukan dialog dua arah.
Lebih parah lagi, lesu kehidupan politik di daerah bukan hanya masalah simbolik ini juga menyangkut materi. Dana operasional parpol di daerah, yang idealnya harus memadai untuk aktivitas kaderisasi, pendidikan politik, pengorganisasian lokal, dan kampanye, seringkali bergantung pada kuasa pusat. Bila pusat tidak memberi atau memberi bersyarat aktivitas di daerah tidak akan berjalan maksimal. Partai lokal menjadi kantong kosong yang hanya diisi nama dan struktur formal, tanpa otoritas nyata.
Apa yang ditandai sebagai “sinkronisasi program kerja” antara kader daerah dengan pusat adalah satu pendekatan yang tampak netral, tapi sesungguhnya memerangkap kepala daerah kader partai pada tekanan politik yang memaksa mereka memilih antara kepentingan lokal atau tunduk pada garis pusat. Kasus PDI-P misalnya: DPP mengumpulkan kepala/wakil kepala daerah kadernya untuk pembekalan di Jakarta, agar program mereka selaras dengan pusat; praktis, ini menjadi kanal kontrol pusat melalui instruksi, bukan musyawarah.
Celakanya, ini semua berjalan di tengah kebutuhan besar terhadap dana partai lokal, yang selama ini jauh dari memuaskan. Bahkan bantuan dana dari negara/kewilayahan sangat terbatas dan “longgar” regulasinya, sehingga partai sering tergantung pada sumbangan pribadi atau usaha lain yang menimbulkan kerentanan terhadap pengaruh luar.
Kurangnya mekanisme internal parpol yang memungkinkan kader daerah untuk memilih pemimpinnya sendiri secara demokratis juga jadi bagian dari masalah. Tidak sedikit konflik internal muncul saat nama-nama calon ketua daerah yang diajukan oleh DPC dicoret atau diganti oleh DPP, tanpa penjelasan komprehensif atau tanpa ruang musyawarah yang transparan. Ketidakpuasan ini seringkali dimenangkah oleh siapa pun yang punya akses ke pusat.
Sikap ini bukan hanya soal kekuasaan partai, tetapi soal demokrasi: apakah demokrasi itu hanya sebatas pemilihan setiap beberapa tahun sekali, ataukah sebuah proses berkelanjutan dimana rakyat dan daerah punya peran nyata menentukan agenda politik mereka? Apabila pusat terus mendikte, maka suara rakyat di daerah akan terus menjadi gema yang tidak pernah menghasilkan gema kembali ke pusat.
Sudah saatnya parpol mengoreksi struktural mereka: memperkuat otoritas pengurus wilayah, memastikan dana operasional daerah adil dan tidak bersyarat, membuka ruang bagi kader lokal memilih pemimpin mereka secara demokratis, bukan sekadar melaksanakan restu. Tanpa itu, klaim bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang menghargai otonomi daerah tinggal sebagai fatamorgana.
Dwi Taufan Hidayat

















